Nama : Yuliansyah
NIM : 07304249018
Prodi : Pendidikan Biologi Landak
A. Kasus-Kasus Terkini
Di negeri ini, penegakan hukum masih terlihat “Keras kepada kaum lemah, loyo saat berdapan dengan si kuat.” Bahkan mantan wakil presiden jusuf kalla sendiri mengatakan bahwa dari sisi ekonomi Indonesia sudah membaik, tapi belum dari sisi hukum. Hal ini mengindikasikan
Ada Manisih, Sri Suratmi, Juwono, dan Rusnoto karena diduga mencuri kapuk randu seberat 14 kg milik sebuah perusahaan, sempat ditahan selama 24 hari, lantas dihukum bersalah oleh pengadilan. Parto juga mengalami nasib serupa. Dia mencuri lima batang jagung (setara dengan harga Rp 10.000) untuk tambahan makanan sapinya, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dengan tuduhan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Selain kasus di atas, masih banyak kasus lain yang tidak kalah ironisnya mengenai hukum di Negara ini.
B. Perbedaan Antara Si Kaya Dan Si Miskin
Memang bukan suatu yang mudah pula untuk menyalahkan aparat penegak hukum sebagai biang ketidak adilan di negeri ini. Di masyarakat sendiri kita sudah melihat kenyataan bahwa kita secara sadar atau tidak sadar sudah melakukan pembedaan sendiri terhadap si kaya dan si miskin. Si kaya otomatis kita hormati, omongannya di dengar , dan lain-lain, tidak dibantah, yang mungkin karena takut, atau keterpaksaan,. Sedangkan kepada si miskin kita lebih sering menyombongkan diri, semena-mena, tidak menghargai, karena kita tidak takut dan tidak ada alasan yang membuat kita merasa harus menghormati mereka.
Hal ini terbawa dalam semua aspek kehidupan. Dari kehidupan tingkatan bawah, sampai kehidupan di tingkatan atas, termasuklah dalam dunia “peradilan”. Kaya dan miskin, seolah menjadi salah satu kata kunci dalam pola pikir kita. Kepada si kaya kita segan, kepada si miskin kita garang.
C. Prinsip Cermin Datar
Semua “dasar teori” yang menyebabkan kita membiasakan diri mengklasifikasi tindakan terhadap si kaya dan si miskin memang sulit untuk dihilangkan. Dasar teori itu seakan sudah mendarah daging di dalam diri kita. Namun yang harus kita tinjau sekarang apakah di mata hukum pun klasifikasi-klasifikasi pribadi tersebut masih kita pertahankan? Bukankah symbol peradilan yang digaungkan adalah gambar sebuah neraca sederhana yang timbangannya seimbang? Atau memang ada kesalahan dalam penetapan symbol tersebut yang kini sedang terjadi karena di dalam symbol tersebut neracanya sedang kosong sehingga seimbang, sedangkan jika sudah digunakan untuk menimbang-nimbang hukum neraca tersebut tidak lagi seimbang melainkan berat sebelah??
Hukum sebagai alat untuk mengendalikan dan memberikan balasan sudah seharusnya melihat pada kepolosan sebuah cermin. Cermin, tidak akan pernah bohong. Cermin begitu jujur: ketika yang bercermin orang yang tinggi, maka bayangannya akan tinggi. Ketika yang bercermin padanya orang yang rendah, maka yang terlihat bayangannya rendah. Hitam baju orang yang dipakai, hitam yang dia pantulkan. Putih, putih pula yang ia pantulkan. Hukum seharusnya mengikuti prinsip ini. Harus!!
D. Klasifikasi Hukum: KUHP Khusus Orang Kaya, KUHP Khusus Orang Miskin
Oleh karena itu, penulis mengajukan satu solusi yang menurut penulis bisa membawa prinsip kepolosan cermin dalam hukum, yaitu dengan mengklasifikasi hukum berdasarkan tingkat ekonomi, dalam artian diperlukan revisi hukum dengan memisahkan aturan hukum si kaya dan si miskin, yang mungkin wujudnya bisa dalam bentuk KUHP khusus orang kaya dan KUHP khusus orang miskin, atau masih dalam satu buku tetapi untuk hukuman yang diberikan diberi keterangan hukuman bagi si kaya berupa apa dan berapa, dan jika yang melakukan si miskin hukumannya berupa apa dan berapa. Tentunya lagi, hukuman bagi si miskin harus jauh lebih ringan dibandingkan hukuman bagi si kaya yang melakukan pelanggaran yang sama.
E. Orang Miskin Sudah Menderita Setiap Hari
Alasan pembedaan hukuman ini tampaknya tidak terlalu sulit untuk kita cerna. Bagi si kaya, apa yang kurang bagi mereka, harta melimpah, kebutuhan tercukupi, semuanya bisa didapatkan, dan akses untuk mengetahui semua peraturan lebih mudah mereka dapatkan. Sedangkan bagi si miskin, setiap hari sudah merupakan penderitaan bagi mereka. Untuk makan mereka susah, pekerjaan jarang, penghasilan jauh dari mencukupi, harga sembako “selangit”, sehingga ketika ditambah lagi dengan hukuman yang lain, bertambahlah penderitaan mereka. Selain itu lebih sering mereka tidak mengetahui peraturan-peraturan yang diterapkan oleh orang-orang pintar yang harus dipatuhi oleh mereka karena tidak ada akses dan penyuluhan dari pemerintah.
F. Serakah Vs Kepepet
Di sisi lain lagi, terlalu banyak alasan orang miskin melakukan pelanggaran yang dikarenakan kondisi. Keterpaksaanlah yang lebih dominan memaksa mereka. Ekonomi menduduki peringkat pertama pada situasi ini, hal ini tercermin dari nenek minah. Tidak ada nafsu untuk mengejar kekayaan yang ada di benak mereka, hanya sekedar mempertahankan hidup. Tetapi lain halnya dengan orang kaya. Pelanggaran yang mereka lakukan dominan dikarenakan ketidakpuasan mereka terhadap apa yang dimiliki. Mereka ibarat pepatah “sudah dapat hati meminta jantung”, “ibarat meminum air laut, semakin diminum semakin haus”, begitulah keserakahan yang ada pada pada diri mereka. Sungguh bertolak belakang dengan alasan orang-orang miskin yang sama-sama melakukan pelanggaran. Maka tidak salah jika kita membedakan hukuman terhadap kedua golongan ini.
G. Kesimpulan
Salah satu solusi ketidak adilan hukum di Indonesia bisa dihilangkan dengan menerapkan klasifikasi hukum terhadap si miskin dan si kaya. Diharapkan dengan diterapkannya pembedaan hukum ini maka ketidak adilan tidak lagi kita dengar, karena dasar teori perbedaan hukum tidak berlaku, dan keadilan bisa benar-benar dirasakan oleh semua masyarakat dan dapat memberikan kepuasan. Namun tentu saja untuk menerapkan solusi ini perlu adanya kelapangan dada di antara kita untuk menyadari dan menerima alasan mengapa klasifikasi semacam ini dipandang perlu untuk dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar