Rabu, 10 November 2010
pembuatan preparat kutikula daun
I. Tujuan
Membuat cetakan epidermis daun pada kutikula dengan melarutkan mesofilnya.
II. Dasar Teori
Kutikula adalah lapisan yang berada di atas lapisan epidermis, dapat berupa permukaan yang halus, kasar, bergelombang, atau beralur. Empat macam lapisan dapat ditemukan pada kutikula yaitu lilin, cutin, pektin, dan campuran cutin-selulosa-pektin. Lapisan lilin yang menyelimuti kulit merupakan campuran dari hidrokarbon rantai panjang, alkohol, keton, asam lemak, dan ester.
Preparat kutikula dibuat dengan cara melarutkan jaringan-jaringan daun dalam hydrogen peroksida. Untuk mempercepat pelarutan sel-sel daun tersebut dapat ditambahkan Kristal tetrasodium pirofosfat sebagai katalisator dan pemanasan. Preparat kutikula ini dapat member informasi tentan struktur permukaan atas dan bawah dari daun.
Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. H2O2 tidak berwarna dan memiliki bau yang khas agak keasaman. H2O2 larut dengan sangat baik dalam air. Dalam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil, dengan laju dekomposisi yang sangat rendah. Pada saat mengalami dekomposisi hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen, dengan mengikuti reaksi eksotermis berikut:
H2O2 --> O2 + H2O + kalor (panas)
Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent, pada industri pulp, kertas dan tekstil. Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan. Ia tidak meninggalkan residu, hanya air dan oksigen. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
III. Alat dan bahan
Alat : Bahan :
- Pinset - hydrogen peroksida
- Kuas - larutan safranin
- Pipet tetes - gliserin jeli
- Gelas beker
- Incubator
- Gelas petri
IV. Cara kerja
Menyiapkan potongan daun dengan ukuran 5 mm x 5 mm dan memasukannya kedalam H2O2 ditambahkan Kristal tetrasodium pirofosfat 10% dari volume
↓
Memisahkan kutikula atas dan bawah
↓
Memasukan kedalam incubator pada suhu 60o C, simpan semalam. Sel sudah larut ketika sudah transparan
↓
Membuang sisa larutan dan mencuci kutikula dengan akuades 2 kali
Merendam kutikula dalam safranin selama 3-5 menit, membilas dengan air, dan meletakannya diatas gelas obyek
↓
Menutup gelas obyek dengan gelas penutup secara perlahan-lahan sehingga tidak ada gelembung udara yang terjebak
↓
Mengeringkannya dan selanjutnya menutup tepi-tepi gelas dengan penutup pulas cat kuku untuk merekatkannya
V. Hasil
Setelah pengamatan diperoleh hasil :
Gambar :
VI. Pembahasan
Pada praktikum pembuatan preparat kutikula daun ini bertujuan untuk membuat cetakan epidermis daun pada kutikula dengan melarutkan mesofilnya. Langkah pertama dari pembuatan preparat kutikula adalah merendam potongan daun yang berukuran ± 5 mm x 5 mm dalam hydrogen peroksida (H2O2). Dari beberapa daun yang direndam terjadi perbedaan kecepatan kelarutan. Kecepatan kelarutan dipengaruhi oleh tebal tipisnya daun, dimana semakin tebal daun semakin lama pelarutannya. Hal ini disebabkan daun yang tebal memiliki lebih banyak serat (berkas pengangkut).
Langkah selanjutnya adalah memasukan potongan daun yang sudah direndam tadi ke dalam oven selama semalam dengan tujuan lebih mempercepat pelarutan jaringan-jaringan daun. Pengovenan dihentikan apabila potongan daun tersebut sudah larut (mengalami klorosis) dan menyisakan lapisan-lapisan tipis transparan kutikula di dalam botol perendaman. Kutikula tidak mengalami penglarutan di dalam hydrogen peroksida sehingga pelarut yang digunakan adalah hydrogen peroksida. Pertimbangan lain pemilihan pelarut adalah harga dan kemudahan untuk mendapatkannya.
Setelah itu kutikula diangkat dari larutan hydrogen peroksida dengan menggunakan kuas kemudian kutikula dicuci menggunakan aquades sebanyak dua kali. Apabila tidak dicuci atau dalam pencucian tidak bersih akan dapat menimbulkan Kristal pada preparat sehingga pada saat melakukan pengamatan preparat tidak terlihat jelas. Kutikula dibersihkan dengan menggunakan air mengalir untuk membersihkannya dari sisa-sisa jaringan yang tidak diperlukan.
Selanjutnya kutikula direndam dengan pewarna safranin, yang pelarutnya menggunakan air karena pada saat pencucian digunakan air sehingga lebih cocok jika pelarut yang digunakan juga air (menciptakan kondisi yang sama). Safranin merupakan pewarna (dye) yang memudahkan pengamatan karena menyerap panjang gelombang tertentu dari cahaya. Safranin berbentuk cair dan larut di dalam air, serta memiliki afinitas kimia.
Pewarnaan dilakukan selama 3-5 menit. Setelah itu membilas preparat dengan air, kemudian preparat diletakan diatas gelas obyek. Pengambilan preparat dari dalam petridish menggunakan kuas dan harus dilakukan dengan hati-hati agar kutikula tidak Preparat ditutup dengan menggunakan gliserin jeli yang cocok dengan air. Keempat daerah dekat sudut gelas penutup diberi potongan-potongan parafin untuk perekat dan mencegah masuknya udara ke dalam preparat sehingga mengganggu pengamatan terhadap kutikula. Gliserin jeli berfungsi untuk media pengamatan dibawah mikroskop supaya awet sekaligus sebagai perekat. Kemudian yang terakhir preparat tadi ditutup dengan gelas penutup secara perlahan-lahan dan dipanaskan di atas lampu spiritus dengan melintaskannya sehingga paraffin dan gliserin cair dan tidak ada gelembung udara yang terjebak. Jika terdapat gelembung udara menjadikan preparat tidak representative untuk pengamatan.
Setelah semua langkah kerja tersebut dilaksanakan maka diperoleh sebuah preparat kutikula dari daun, namun dari hasil pengamatan hasil pembuatan preparat kutikula kelompok kami diperoleh bahwa preparat kutikula yang dibuat terlihat jelas namun ada satu kekurangan bahwa struktur dari kutikula tersebut tidak tampak adanya stomata, hal ini menurut kelompok kami disebabkan Karena pada saat pemotongan daun tidak pada bagian daun yang memiliki stomata karena tidak semua bagian daun memiliki stomata (daun bagian atas).
VII. Diskusi
1. Apa fungsi dari gliserin jeli dalam pembuatan preparat ini?
Jawab : fungsi dari glseri jeli dalam pembuatan preparat kutikula daun adalah mengawetkan preparat dan merekatkannya pada gelas obyek.
2. Apa fungsi dari preparat
Jawab : fungsi dari preparat kutikula adalah untuk mengamati komponen lapisan daun paling luar (untuk pengamatan jaringan epidermis dan stomata).
VIII. Kesimpulan
Membuat cetakan epidermis daun pada kutikula dilakukan dengan melarutkan mesofilnya direndam dalam hydrogen peroksida kemudian di masukan dalam incubator pada suhu 60oC. Apabila daun sudah transparan berarti sel-sel sudah larut dan dicuci terlebih dulu sebelum diwarnai dengan safranin. Setelah pewarnaan kutikula dicuci kembali dengan air keran. Tahap terakhir adalah meletakkan kutikula di atas gelas benda dengan dilapisi gliserin jeli dan diberi potongan-potongan paraffin pada bagian tepi gelas penutupnya.
IX. Daftar pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahan_pewarna
Koesmadji, Wirjosoemarto, dkk. 2004. Teknik Laboratorium. JICA FMIPA UNY:
Yogyakarta
Ratnawati, dkk. 2009. Petunjuk Praktikum Mikroteknik dan Teknik Lab. Jurusan
Pendidikan Biologi FMIPA UNY : Yogyakarta
Membuat cetakan epidermis daun pada kutikula dengan melarutkan mesofilnya.
II. Dasar Teori
Kutikula adalah lapisan yang berada di atas lapisan epidermis, dapat berupa permukaan yang halus, kasar, bergelombang, atau beralur. Empat macam lapisan dapat ditemukan pada kutikula yaitu lilin, cutin, pektin, dan campuran cutin-selulosa-pektin. Lapisan lilin yang menyelimuti kulit merupakan campuran dari hidrokarbon rantai panjang, alkohol, keton, asam lemak, dan ester.
Preparat kutikula dibuat dengan cara melarutkan jaringan-jaringan daun dalam hydrogen peroksida. Untuk mempercepat pelarutan sel-sel daun tersebut dapat ditambahkan Kristal tetrasodium pirofosfat sebagai katalisator dan pemanasan. Preparat kutikula ini dapat member informasi tentan struktur permukaan atas dan bawah dari daun.
Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. H2O2 tidak berwarna dan memiliki bau yang khas agak keasaman. H2O2 larut dengan sangat baik dalam air. Dalam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil, dengan laju dekomposisi yang sangat rendah. Pada saat mengalami dekomposisi hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen, dengan mengikuti reaksi eksotermis berikut:
H2O2 --> O2 + H2O + kalor (panas)
Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent, pada industri pulp, kertas dan tekstil. Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan. Ia tidak meninggalkan residu, hanya air dan oksigen. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
III. Alat dan bahan
Alat : Bahan :
- Pinset - hydrogen peroksida
- Kuas - larutan safranin
- Pipet tetes - gliserin jeli
- Gelas beker
- Incubator
- Gelas petri
IV. Cara kerja
Menyiapkan potongan daun dengan ukuran 5 mm x 5 mm dan memasukannya kedalam H2O2 ditambahkan Kristal tetrasodium pirofosfat 10% dari volume
↓
Memisahkan kutikula atas dan bawah
↓
Memasukan kedalam incubator pada suhu 60o C, simpan semalam. Sel sudah larut ketika sudah transparan
↓
Membuang sisa larutan dan mencuci kutikula dengan akuades 2 kali
Merendam kutikula dalam safranin selama 3-5 menit, membilas dengan air, dan meletakannya diatas gelas obyek
↓
Menutup gelas obyek dengan gelas penutup secara perlahan-lahan sehingga tidak ada gelembung udara yang terjebak
↓
Mengeringkannya dan selanjutnya menutup tepi-tepi gelas dengan penutup pulas cat kuku untuk merekatkannya
V. Hasil
Setelah pengamatan diperoleh hasil :
Gambar :
VI. Pembahasan
Pada praktikum pembuatan preparat kutikula daun ini bertujuan untuk membuat cetakan epidermis daun pada kutikula dengan melarutkan mesofilnya. Langkah pertama dari pembuatan preparat kutikula adalah merendam potongan daun yang berukuran ± 5 mm x 5 mm dalam hydrogen peroksida (H2O2). Dari beberapa daun yang direndam terjadi perbedaan kecepatan kelarutan. Kecepatan kelarutan dipengaruhi oleh tebal tipisnya daun, dimana semakin tebal daun semakin lama pelarutannya. Hal ini disebabkan daun yang tebal memiliki lebih banyak serat (berkas pengangkut).
Langkah selanjutnya adalah memasukan potongan daun yang sudah direndam tadi ke dalam oven selama semalam dengan tujuan lebih mempercepat pelarutan jaringan-jaringan daun. Pengovenan dihentikan apabila potongan daun tersebut sudah larut (mengalami klorosis) dan menyisakan lapisan-lapisan tipis transparan kutikula di dalam botol perendaman. Kutikula tidak mengalami penglarutan di dalam hydrogen peroksida sehingga pelarut yang digunakan adalah hydrogen peroksida. Pertimbangan lain pemilihan pelarut adalah harga dan kemudahan untuk mendapatkannya.
Setelah itu kutikula diangkat dari larutan hydrogen peroksida dengan menggunakan kuas kemudian kutikula dicuci menggunakan aquades sebanyak dua kali. Apabila tidak dicuci atau dalam pencucian tidak bersih akan dapat menimbulkan Kristal pada preparat sehingga pada saat melakukan pengamatan preparat tidak terlihat jelas. Kutikula dibersihkan dengan menggunakan air mengalir untuk membersihkannya dari sisa-sisa jaringan yang tidak diperlukan.
Selanjutnya kutikula direndam dengan pewarna safranin, yang pelarutnya menggunakan air karena pada saat pencucian digunakan air sehingga lebih cocok jika pelarut yang digunakan juga air (menciptakan kondisi yang sama). Safranin merupakan pewarna (dye) yang memudahkan pengamatan karena menyerap panjang gelombang tertentu dari cahaya. Safranin berbentuk cair dan larut di dalam air, serta memiliki afinitas kimia.
Pewarnaan dilakukan selama 3-5 menit. Setelah itu membilas preparat dengan air, kemudian preparat diletakan diatas gelas obyek. Pengambilan preparat dari dalam petridish menggunakan kuas dan harus dilakukan dengan hati-hati agar kutikula tidak Preparat ditutup dengan menggunakan gliserin jeli yang cocok dengan air. Keempat daerah dekat sudut gelas penutup diberi potongan-potongan parafin untuk perekat dan mencegah masuknya udara ke dalam preparat sehingga mengganggu pengamatan terhadap kutikula. Gliserin jeli berfungsi untuk media pengamatan dibawah mikroskop supaya awet sekaligus sebagai perekat. Kemudian yang terakhir preparat tadi ditutup dengan gelas penutup secara perlahan-lahan dan dipanaskan di atas lampu spiritus dengan melintaskannya sehingga paraffin dan gliserin cair dan tidak ada gelembung udara yang terjebak. Jika terdapat gelembung udara menjadikan preparat tidak representative untuk pengamatan.
Setelah semua langkah kerja tersebut dilaksanakan maka diperoleh sebuah preparat kutikula dari daun, namun dari hasil pengamatan hasil pembuatan preparat kutikula kelompok kami diperoleh bahwa preparat kutikula yang dibuat terlihat jelas namun ada satu kekurangan bahwa struktur dari kutikula tersebut tidak tampak adanya stomata, hal ini menurut kelompok kami disebabkan Karena pada saat pemotongan daun tidak pada bagian daun yang memiliki stomata karena tidak semua bagian daun memiliki stomata (daun bagian atas).
VII. Diskusi
1. Apa fungsi dari gliserin jeli dalam pembuatan preparat ini?
Jawab : fungsi dari glseri jeli dalam pembuatan preparat kutikula daun adalah mengawetkan preparat dan merekatkannya pada gelas obyek.
2. Apa fungsi dari preparat
Jawab : fungsi dari preparat kutikula adalah untuk mengamati komponen lapisan daun paling luar (untuk pengamatan jaringan epidermis dan stomata).
VIII. Kesimpulan
Membuat cetakan epidermis daun pada kutikula dilakukan dengan melarutkan mesofilnya direndam dalam hydrogen peroksida kemudian di masukan dalam incubator pada suhu 60oC. Apabila daun sudah transparan berarti sel-sel sudah larut dan dicuci terlebih dulu sebelum diwarnai dengan safranin. Setelah pewarnaan kutikula dicuci kembali dengan air keran. Tahap terakhir adalah meletakkan kutikula di atas gelas benda dengan dilapisi gliserin jeli dan diberi potongan-potongan paraffin pada bagian tepi gelas penutupnya.
IX. Daftar pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahan_pewarna
Koesmadji, Wirjosoemarto, dkk. 2004. Teknik Laboratorium. JICA FMIPA UNY:
Yogyakarta
Ratnawati, dkk. 2009. Petunjuk Praktikum Mikroteknik dan Teknik Lab. Jurusan
Pendidikan Biologi FMIPA UNY : Yogyakarta
seri budaya Kabupaten Landak
Bentuk-bentuk ancaman terhadap keanekaragaman komponen-komponen ekosistem sungai di kabupaten Landak dan upaya penaganannya
A. Pendahuluan
Seiring dengan bertambahnya populasi manusia yang berarti bertambah pula kebutuhan yang di perlukan untuk mendukung hidupnya sangat berpengaruh pada keanekaragaman komponen suatu ekosistem, baik itu ekosistem perairan maupun daratan. Salah satu contoh adalah yang terjadi di daerah kabupaten Landak Kalimantan Barat. Terlihat nyata bahwa di beberapa daerah, kerusakan ekosistem sangat memprihatinkan. Misalnya penambangan emas tanpa izin di Mandor, pembalakan hutan di sekitarnya, dan perluasan area perkebunan kelapa sawit di Ngabang yang juga sedang merambah di daerah-daerah sekitarnya.
Dampak dari kegiatan tersebut adalah berkurangnya komponen-komponen penyusun ekosistem, baik ekosistem sungai maupun daratan. Komponen-komponen tersebut meliputi komponen abiotik dan komponen biotic. Langkah-langkah atau upaya konservasi telah di buat dalam bentuk undang-undang, namun pelaksanaannya lah yang belum terrealisasikan, sehingga keanekaragaman komponen penyusun ekosistem terus berkurang seiring berjalannya waktu.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja bentuk-bentuk ancaman terhadap ekosistem sungai di kabupaten landak?
2. Tindakan apa saja yang bisa dilakukan mengurangi ancaman terhadap ekosistem sungai di kabupaten landak?
C. Pembahasan
1. PETI
Setelah pemberantasan illegal logging ditegakkan, kini muncul episode lainnya illegal mining, Tiga (3) titik yang menjadi lokasi PETI dalam skala besar di Kalimantan Barat yang salah satunya adalah kabupaten Landak,. Selain itu ada Ketapang dan Bengkayang yang merupakan target utama Polda KalBar ("Kapolda Perintahkan Basmi PETI" Tribun Pontianak, Rabu 10/06/2009).
Penambangan emas memang menimbulkan dilema antara pemerintah dan penambang. Ketika ada razia yang dilakukan pihak yang berwenang para penambang sampai merusak kantor polisi mandor.
"Mendulang emas dan intan adalah mata pencaharian mereka sejak nenek moyang, dan mereka melawan atas dasar untuk memperjuangkan hidup atau mati demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945" kata juru bicara mereka Asnawi SP ketika datang demonstrasi ke DPRD Landak.
Jika demikian alasan yang diajukan maka mana yang kita pilih: tetap membiarkan hutan-hutan kita digunduli, PETI merajalela, sehingga ekosistem lingkungan kita hancur lebur sehingga mereka bisa tenang dan nyaman dalam bekerja. Ataukah tetap menindak tegas mereka dengan apapun konsekwensinya demi tetap terjaganya kelestarian hutan, ekosistem yang masih tersisa di kabupaten Landak ?
Mengapa PETI menjadi berbahaya? Jawabannya ada 2:
(1) PETI memerlukan lahan. Para penambang tidak memperhatikan efek lingkungan yang terjadi pada tempat mereka menambang. Ketika mereka melakukan penambangan di sungai, maka sungai menjadi dangkal dan keruh. Ketika penambangan terjadi di darat, maka pohon-pohon dan tanah di sekitar daerah penambangan akan mengalami kerusakan, dan contoh mudahnya bisa kita temui di kawasan hutan lindung mandor yang berdampingan dengan makam juang mandor yang mana sejak reformasi hutan lindung tinggal cerita dan makam juang ikut tergusur oleh ulah penambang emas;
(2) Pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada tanah dan air sangat membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat pada residu sistein protein/enzim manusia/binatang sehingga protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas tinggi dibanding dengan Hg(O) atau Hg(II). Hal ini disebabkan gastrointestine manusia dapat menyerap sekitar 95% senyawa metilmerkuri (Rugh et al, 2000), dan senyawa ini juga dapat menyerang syaraf manusia melalui peredaran darah (Bizily et al, 2000). Pada lingkungan perairan (aquatic) atau laut (marine) senyawa metilmerkuri mengalami biomagnification melalui jaringan makanan, khususnya untuk jaringan makanan di air (Bizily et al, 2000). Biomagnification terjadi jika metilmerkuri mencemari perairan atau laut. Sumber pencemaran merkuri dapat disebabkan oleh proses geologi dan biologi. Senyawa merkuri yang terdapat pada batu dan tanah dikikis oleh hujan dan angin. Meskipun demikian, hal itu tidak sebanding jumlahnya bila dibandingkan dengan pencemaran merkuri yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti: pembakaran batubara, beberapa jenis produk minyak bumi, penggunaan fungisida merkuri, katalisator merkuri dan penambangan emas yang menggunakan merkuri untuk ekstraksi partikel emas.
Salah satu usaha untuk detoksifikasi merkuri dapat dilakukan menggunakan mikroorgansime resisten merkuri, misalnya bakteri resisten merkuri. Detoksifikasi merkuri oleh bakteri resisten merkuri terjadi karena bakteri resisten merkuri memiliki gen resisten merkuri, mer operon (Silver & Phung 1998). Struktur mer operon berbeda untuk tiap jenis bakteri.
Umumnya struktur mer operon terdiri dari gen metaloregulator (merR), gen transpor merkuri (merT, merP, merC), gen merkuri reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB). Menurut Liebert et al, (1999), model mekanisme resisten merkuri bakteri gram negatip adalah sebagai berikut Hg(II) yang masuk periplasma terikat ke pasangan residu sistein MerP. Selanjutnya MerP mentransfer Hg(II) ke residu sistein MerT atau MerC. Akhirnya ion Hg menyeberang membran sitoplasma melalui proses reaksi pertukaran ligan menuju sisi aktif flavin disulfide oksidoreduktase, merkuri reduktase (MerA). Merkuri reduktase mengkatalisis reduksi Hg(II) menjadi Hg(0) volatil dan sedikit reaktif. Akhirnya Hg(0) berdifusi dilingkungan sel untuk selanjutnya dikeluarkan dari sel. Bakteri yang hanya memiliki protein merkuri reduktase (MerA) disebut dengan bakteri resisten merkuri spektrum sempit. Beberapa bakteri selain memiliki protein merkuri reduktase (MerA) juga memiliki protein organomerkuri liase (MerB). MerB berfungsi dalam mengkatalisis pemutusan ikatan merkuri-karbon sehingga dihasilkan senyawa organic dan ion Hg yang berupa garam tiol. Bakteri yang memiliki kedua protein merkuri reduktase (MerA) dan organomerkuri liase (MerB) disebut dengan bakteri resisten merkuri spektrum luas. Mikroorganisme yang terdapat pada daerah tercemar merkuri berperan utama untuk detoksifikasi merkuri. Oleh karena itu, mikroorganisme yang terdapat pada daerah tercemar merkuri merupakan sumber untuk isolasi bakteri resisten merkuri.
2. Penebangan hutan
Salah satu sebab utama perusakan hutan di kabupaten landak adalah penebangan hutan. Yang terjadi disini adalah penebangan hutan secara liar, tanpa memperhatikan etika lingkungan, membabat hutan hanya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Kayu yang di hasilkan dari penebangan di ekspor keluar pulau, misalnya ke Malaysia sebagai kayu gelondongan ataupun di tampung di suatu pabrik yang kemudian di olah menjadi bahan pembuatan perabot rumah ataupun bahan lainnya.
Walaupun aturan mengenai penebangan hutan telah di buat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, penebangan hutan secara besar-besaran masih saja terjadi. Hal ini di karenakan keegoisan para pelaku penebangan yang hanya menginginkan uang yang di hasilkan tanpa memikirkan dampak negatifnya. Begitu juga dengan aparat penindak di lapangan, mereka sangat rapuh, tidak tegas, dan hanya dengan segumpal uang untuk menutup murut mereka, maka mereka akan diam.
Perusakan hutan berdampak pada berkurangnya komponen-komponen penyusun hutan baik biotic maupun abiotik. Komponen biotic di antaranya adalah berkurang nya jenis-jenis tanaman, berkurangnya keanekaragaman populasi beberapa spesies misalnya tupai, burung dan sebagainya. Untuk komponen abiotiknya sendiri yaitu berkurangnya unsur hara yang terkandung dalam tanah akibat terkikis oleh aliran hujan yang tidak tertahan oleh akar-akar pohon yang memang seharusnya memiliki peran seperti itu.
Selain itu secara tidak langsung pengrusakan hutan juga akan berdampak terhadap ekosistem sungai, di mana setelah hutan di tebang maka otomatis aliran air akan langsung menuju sungai, tidak ada lagi yang meresap ke dalam tanah karena terhalang oleh akar-akar dan pohon-pohon. Akibantya debit air meningkat drastis dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Lain lagi ketika terjadi musim kemarau, sungai tidak memiliki cadangan air yang berasal dari air tanah yang tertahan karena tanaman-tanaman sehingga rentan mengalami kekeringan (debit airnya berkurang) dan berpengaruh pada ekosistem sungai tersebut karena keseimbangannya terganggu.
3. Perluasan area perkebunan kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu mata pencaharian penduduk di kabupaten Landak selain menanam padi dan perkebunan karet. Tidak bisa di pungkiri perkebunan kelapa sawit telah mendongkrak perekonomian masyarakat di sekitarnnya. Namun terlepas dari itu semua, perlu juga di ketahui dampak negatifnya seiring dengan perluasan area perkebunan kelapa sawit.
Dengan adanya perluasan area perkebunan kelapa sawit maka banyak hutan yang di garap. Hal ini berdampak pada berkurangnya keanekaragaman populasi baik hewan maupun tumbuhan yang sebelumnya menghuni daerah tersebut. Dengan menanam pohon kelapa sawit maka secara otomatis tumbuhan lain yang di rasa mengganggu akan di musnahkan. Akibatnya yang ada hanya populasi pohon kelapa sawit dan beberapa tumbuhan rumput-rumputan. Hal ini mengakibatkan hewan yang menghuni daerah tersebut pun berkurang jenisnya, karena lingkungan di situ sudah tidak mendukung untuk dapat bertahan hidup. Seperti pada kasus hutan yang di babat, maka dalam kasus ini pun kandungan unsur hara yang terkandung sangat sedikit baik dalam jenisnya maupun jumlahnya.
Upaya yang di lakukan mungkin dapat menjadi solusi adalah dengan intensifikasi area perkebunan sawit yang telah ada.
Adapun hubungan antara perluasan perkebunan kelapa sawit dengan ancaman terhadap ekosistem sungai adalah kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat besar terhadap air. Hal ini tentunya tidak baik bagi persediaan air bagi sungai, di mana air yang seharusnya mengalir ke sungai akan terkonsumsi oleh kelapa sawit, sehingga debit air sungai menurun dan mempengaruhi kehidupan dan keberlangsungan ekosistem sungai.
4. Penubaan dan peracunan ikan
Penubaan adalah kegiatan mencari ikan dengan membunuh ikan menggunakan racun alami maupun buata yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kegiatan penubaan biasa dilakukan saat musim kemarau di mana debit air sungai akan menurun drastis. Para penuba tidak hanya melakukan aksinya di sungai-sungai kecil, namun sudah berani melakukan kegiatannya di sungai Landak, yang notabene adalah sungai utama di kecamatan Ngabang. Racun/tuba yang dicampurkan ke air akan membunuh semua ikan besar maupun kecil dan semua organisme yang ada sehingga ekosistem sungai menjadi rusak. Selain itu racun tersebut juga bisa membahayakan bagi manusia yang memanfaatkan air sungai yang teracuni. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa ikan hasil penubaan bisa beredar di pasar? Hal ini menandakan kurangnya pengawasan dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masih perlu adanya perhatian yang lebih besar dari pihak-pihak yang berwenang dalam menanggapi hal ini dan perlunya penyampaian pesan kepada masyarakat mengenai dampak buruk dari aktivitas menuba dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Dari permasalah-permasalah di atas, ada beberapa usulan yang kami ajukan sebagai solusi mengurangi ancaman terhadap ekosistem sungai di kabuaten landak, yaitu:
1. Membuka lapangan pekerjaan bagi para penambang emas dan pelaku pembalakan hutan. Di antara pekerjaan yang mungkin diajukan adalah pembuatan perkebunan kelapa sawit di daerah yang rusak sehingga lahan tersebut menjadi berfungsi dan menyerap tenaga kerja.
2. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan dari aktivitas pengrusakan hutan, PETI, penubaan, dan lainnya yang dapat menjadi ancaman bagi ekosistem sungai.
3. Mengoptimalkan peran lembaga pendidikan formal (sekolah) untuk menanamkan wawasan lingkungan sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang peduli lingkungan dan menjaga lingkungan.
4. Menerapkan aturan dan sangsi yang tegas terhadap semua bentuk ancaman terhadap ekosistem sungai, karena selama ini yang terjadi adalah belum optimalnya fungsi hukum dalam memberikan efek jera dan preventif kepada pelaku pengrusakan ekosistem.
D. Kesimpulan
Bentuk-bentuk ancaman terhadap ekosistem di Kabupaten Landak antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penambangan emas tanpa izin
2. Penebangan hutan secara liar
3. Perluasan perkebunan kelapa sawit
4. Penubaan (mencari ikan dengan cara di racun)
E. Saran
Semua masalah yang timbul dikarenakan ulah manusia yang kurang memperhatikan dan memahami prinsip-prinsip deep ekologi, maka dari itu diharapkan kepada pihak terkait lebih giat melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk lebih mencintai lingkungannya sebagai titipa anak cucu, bukan sebagai warisan nenek moyang. Selain itu juga perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai perluasan perkebunan kelapa sawit yang mengacu pada deep ekologi.
Daftar Pustaka
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/22947/penangkapan-ikan-sungai-dengan-racun-marak
http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol6%282%29/risa.pdf
Seiring dengan bertambahnya populasi manusia yang berarti bertambah pula kebutuhan yang di perlukan untuk mendukung hidupnya sangat berpengaruh pada keanekaragaman komponen suatu ekosistem, baik itu ekosistem perairan maupun daratan. Salah satu contoh adalah yang terjadi di daerah kabupaten Landak Kalimantan Barat. Terlihat nyata bahwa di beberapa daerah, kerusakan ekosistem sangat memprihatinkan. Misalnya penambangan emas tanpa izin di Mandor, pembalakan hutan di sekitarnya, dan perluasan area perkebunan kelapa sawit di Ngabang yang juga sedang merambah di daerah-daerah sekitarnya.
Dampak dari kegiatan tersebut adalah berkurangnya komponen-komponen penyusun ekosistem, baik ekosistem sungai maupun daratan. Komponen-komponen tersebut meliputi komponen abiotik dan komponen biotic. Langkah-langkah atau upaya konservasi telah di buat dalam bentuk undang-undang, namun pelaksanaannya lah yang belum terrealisasikan, sehingga keanekaragaman komponen penyusun ekosistem terus berkurang seiring berjalannya waktu.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja bentuk-bentuk ancaman terhadap ekosistem sungai di kabupaten landak?
2. Tindakan apa saja yang bisa dilakukan mengurangi ancaman terhadap ekosistem sungai di kabupaten landak?
C. Pembahasan
1. PETI
Setelah pemberantasan illegal logging ditegakkan, kini muncul episode lainnya illegal mining, Tiga (3) titik yang menjadi lokasi PETI dalam skala besar di Kalimantan Barat yang salah satunya adalah kabupaten Landak,. Selain itu ada Ketapang dan Bengkayang yang merupakan target utama Polda KalBar ("Kapolda Perintahkan Basmi PETI" Tribun Pontianak, Rabu 10/06/2009).
Penambangan emas memang menimbulkan dilema antara pemerintah dan penambang. Ketika ada razia yang dilakukan pihak yang berwenang para penambang sampai merusak kantor polisi mandor.
"Mendulang emas dan intan adalah mata pencaharian mereka sejak nenek moyang, dan mereka melawan atas dasar untuk memperjuangkan hidup atau mati demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945" kata juru bicara mereka Asnawi SP ketika datang demonstrasi ke DPRD Landak.
Jika demikian alasan yang diajukan maka mana yang kita pilih: tetap membiarkan hutan-hutan kita digunduli, PETI merajalela, sehingga ekosistem lingkungan kita hancur lebur sehingga mereka bisa tenang dan nyaman dalam bekerja. Ataukah tetap menindak tegas mereka dengan apapun konsekwensinya demi tetap terjaganya kelestarian hutan, ekosistem yang masih tersisa di kabupaten Landak ?
Mengapa PETI menjadi berbahaya? Jawabannya ada 2:
(1) PETI memerlukan lahan. Para penambang tidak memperhatikan efek lingkungan yang terjadi pada tempat mereka menambang. Ketika mereka melakukan penambangan di sungai, maka sungai menjadi dangkal dan keruh. Ketika penambangan terjadi di darat, maka pohon-pohon dan tanah di sekitar daerah penambangan akan mengalami kerusakan, dan contoh mudahnya bisa kita temui di kawasan hutan lindung mandor yang berdampingan dengan makam juang mandor yang mana sejak reformasi hutan lindung tinggal cerita dan makam juang ikut tergusur oleh ulah penambang emas;
(2) Pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada tanah dan air sangat membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia. Senyawa merkuri dalam bentuk Hg(II) dapat terikat pada residu sistein protein/enzim manusia/binatang sehingga protein/enzim kehilangan aktivitasnya. Selain Hg(II), senyawa merkuri paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah senyawa organomerkuri, khususnya metilmerkuri dan fenilmerkuri. Senyawa ini bersifat sangat reaktif dan mempunyai mobilitas tinggi dibanding dengan Hg(O) atau Hg(II). Hal ini disebabkan gastrointestine manusia dapat menyerap sekitar 95% senyawa metilmerkuri (Rugh et al, 2000), dan senyawa ini juga dapat menyerang syaraf manusia melalui peredaran darah (Bizily et al, 2000). Pada lingkungan perairan (aquatic) atau laut (marine) senyawa metilmerkuri mengalami biomagnification melalui jaringan makanan, khususnya untuk jaringan makanan di air (Bizily et al, 2000). Biomagnification terjadi jika metilmerkuri mencemari perairan atau laut. Sumber pencemaran merkuri dapat disebabkan oleh proses geologi dan biologi. Senyawa merkuri yang terdapat pada batu dan tanah dikikis oleh hujan dan angin. Meskipun demikian, hal itu tidak sebanding jumlahnya bila dibandingkan dengan pencemaran merkuri yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti: pembakaran batubara, beberapa jenis produk minyak bumi, penggunaan fungisida merkuri, katalisator merkuri dan penambangan emas yang menggunakan merkuri untuk ekstraksi partikel emas.
Salah satu usaha untuk detoksifikasi merkuri dapat dilakukan menggunakan mikroorgansime resisten merkuri, misalnya bakteri resisten merkuri. Detoksifikasi merkuri oleh bakteri resisten merkuri terjadi karena bakteri resisten merkuri memiliki gen resisten merkuri, mer operon (Silver & Phung 1998). Struktur mer operon berbeda untuk tiap jenis bakteri.
Umumnya struktur mer operon terdiri dari gen metaloregulator (merR), gen transpor merkuri (merT, merP, merC), gen merkuri reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB). Menurut Liebert et al, (1999), model mekanisme resisten merkuri bakteri gram negatip adalah sebagai berikut Hg(II) yang masuk periplasma terikat ke pasangan residu sistein MerP. Selanjutnya MerP mentransfer Hg(II) ke residu sistein MerT atau MerC. Akhirnya ion Hg menyeberang membran sitoplasma melalui proses reaksi pertukaran ligan menuju sisi aktif flavin disulfide oksidoreduktase, merkuri reduktase (MerA). Merkuri reduktase mengkatalisis reduksi Hg(II) menjadi Hg(0) volatil dan sedikit reaktif. Akhirnya Hg(0) berdifusi dilingkungan sel untuk selanjutnya dikeluarkan dari sel. Bakteri yang hanya memiliki protein merkuri reduktase (MerA) disebut dengan bakteri resisten merkuri spektrum sempit. Beberapa bakteri selain memiliki protein merkuri reduktase (MerA) juga memiliki protein organomerkuri liase (MerB). MerB berfungsi dalam mengkatalisis pemutusan ikatan merkuri-karbon sehingga dihasilkan senyawa organic dan ion Hg yang berupa garam tiol. Bakteri yang memiliki kedua protein merkuri reduktase (MerA) dan organomerkuri liase (MerB) disebut dengan bakteri resisten merkuri spektrum luas. Mikroorganisme yang terdapat pada daerah tercemar merkuri berperan utama untuk detoksifikasi merkuri. Oleh karena itu, mikroorganisme yang terdapat pada daerah tercemar merkuri merupakan sumber untuk isolasi bakteri resisten merkuri.
2. Penebangan hutan
Salah satu sebab utama perusakan hutan di kabupaten landak adalah penebangan hutan. Yang terjadi disini adalah penebangan hutan secara liar, tanpa memperhatikan etika lingkungan, membabat hutan hanya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Kayu yang di hasilkan dari penebangan di ekspor keluar pulau, misalnya ke Malaysia sebagai kayu gelondongan ataupun di tampung di suatu pabrik yang kemudian di olah menjadi bahan pembuatan perabot rumah ataupun bahan lainnya.
Walaupun aturan mengenai penebangan hutan telah di buat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, penebangan hutan secara besar-besaran masih saja terjadi. Hal ini di karenakan keegoisan para pelaku penebangan yang hanya menginginkan uang yang di hasilkan tanpa memikirkan dampak negatifnya. Begitu juga dengan aparat penindak di lapangan, mereka sangat rapuh, tidak tegas, dan hanya dengan segumpal uang untuk menutup murut mereka, maka mereka akan diam.
Perusakan hutan berdampak pada berkurangnya komponen-komponen penyusun hutan baik biotic maupun abiotik. Komponen biotic di antaranya adalah berkurang nya jenis-jenis tanaman, berkurangnya keanekaragaman populasi beberapa spesies misalnya tupai, burung dan sebagainya. Untuk komponen abiotiknya sendiri yaitu berkurangnya unsur hara yang terkandung dalam tanah akibat terkikis oleh aliran hujan yang tidak tertahan oleh akar-akar pohon yang memang seharusnya memiliki peran seperti itu.
Selain itu secara tidak langsung pengrusakan hutan juga akan berdampak terhadap ekosistem sungai, di mana setelah hutan di tebang maka otomatis aliran air akan langsung menuju sungai, tidak ada lagi yang meresap ke dalam tanah karena terhalang oleh akar-akar dan pohon-pohon. Akibantya debit air meningkat drastis dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Lain lagi ketika terjadi musim kemarau, sungai tidak memiliki cadangan air yang berasal dari air tanah yang tertahan karena tanaman-tanaman sehingga rentan mengalami kekeringan (debit airnya berkurang) dan berpengaruh pada ekosistem sungai tersebut karena keseimbangannya terganggu.
3. Perluasan area perkebunan kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu mata pencaharian penduduk di kabupaten Landak selain menanam padi dan perkebunan karet. Tidak bisa di pungkiri perkebunan kelapa sawit telah mendongkrak perekonomian masyarakat di sekitarnnya. Namun terlepas dari itu semua, perlu juga di ketahui dampak negatifnya seiring dengan perluasan area perkebunan kelapa sawit.
Dengan adanya perluasan area perkebunan kelapa sawit maka banyak hutan yang di garap. Hal ini berdampak pada berkurangnya keanekaragaman populasi baik hewan maupun tumbuhan yang sebelumnya menghuni daerah tersebut. Dengan menanam pohon kelapa sawit maka secara otomatis tumbuhan lain yang di rasa mengganggu akan di musnahkan. Akibatnya yang ada hanya populasi pohon kelapa sawit dan beberapa tumbuhan rumput-rumputan. Hal ini mengakibatkan hewan yang menghuni daerah tersebut pun berkurang jenisnya, karena lingkungan di situ sudah tidak mendukung untuk dapat bertahan hidup. Seperti pada kasus hutan yang di babat, maka dalam kasus ini pun kandungan unsur hara yang terkandung sangat sedikit baik dalam jenisnya maupun jumlahnya.
Upaya yang di lakukan mungkin dapat menjadi solusi adalah dengan intensifikasi area perkebunan sawit yang telah ada.
Adapun hubungan antara perluasan perkebunan kelapa sawit dengan ancaman terhadap ekosistem sungai adalah kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat besar terhadap air. Hal ini tentunya tidak baik bagi persediaan air bagi sungai, di mana air yang seharusnya mengalir ke sungai akan terkonsumsi oleh kelapa sawit, sehingga debit air sungai menurun dan mempengaruhi kehidupan dan keberlangsungan ekosistem sungai.
4. Penubaan dan peracunan ikan
Penubaan adalah kegiatan mencari ikan dengan membunuh ikan menggunakan racun alami maupun buata yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kegiatan penubaan biasa dilakukan saat musim kemarau di mana debit air sungai akan menurun drastis. Para penuba tidak hanya melakukan aksinya di sungai-sungai kecil, namun sudah berani melakukan kegiatannya di sungai Landak, yang notabene adalah sungai utama di kecamatan Ngabang. Racun/tuba yang dicampurkan ke air akan membunuh semua ikan besar maupun kecil dan semua organisme yang ada sehingga ekosistem sungai menjadi rusak. Selain itu racun tersebut juga bisa membahayakan bagi manusia yang memanfaatkan air sungai yang teracuni. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa ikan hasil penubaan bisa beredar di pasar? Hal ini menandakan kurangnya pengawasan dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masih perlu adanya perhatian yang lebih besar dari pihak-pihak yang berwenang dalam menanggapi hal ini dan perlunya penyampaian pesan kepada masyarakat mengenai dampak buruk dari aktivitas menuba dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Dari permasalah-permasalah di atas, ada beberapa usulan yang kami ajukan sebagai solusi mengurangi ancaman terhadap ekosistem sungai di kabuaten landak, yaitu:
1. Membuka lapangan pekerjaan bagi para penambang emas dan pelaku pembalakan hutan. Di antara pekerjaan yang mungkin diajukan adalah pembuatan perkebunan kelapa sawit di daerah yang rusak sehingga lahan tersebut menjadi berfungsi dan menyerap tenaga kerja.
2. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan dari aktivitas pengrusakan hutan, PETI, penubaan, dan lainnya yang dapat menjadi ancaman bagi ekosistem sungai.
3. Mengoptimalkan peran lembaga pendidikan formal (sekolah) untuk menanamkan wawasan lingkungan sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang peduli lingkungan dan menjaga lingkungan.
4. Menerapkan aturan dan sangsi yang tegas terhadap semua bentuk ancaman terhadap ekosistem sungai, karena selama ini yang terjadi adalah belum optimalnya fungsi hukum dalam memberikan efek jera dan preventif kepada pelaku pengrusakan ekosistem.
D. Kesimpulan
Bentuk-bentuk ancaman terhadap ekosistem di Kabupaten Landak antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penambangan emas tanpa izin
2. Penebangan hutan secara liar
3. Perluasan perkebunan kelapa sawit
4. Penubaan (mencari ikan dengan cara di racun)
E. Saran
Semua masalah yang timbul dikarenakan ulah manusia yang kurang memperhatikan dan memahami prinsip-prinsip deep ekologi, maka dari itu diharapkan kepada pihak terkait lebih giat melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk lebih mencintai lingkungannya sebagai titipa anak cucu, bukan sebagai warisan nenek moyang. Selain itu juga perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai perluasan perkebunan kelapa sawit yang mengacu pada deep ekologi.
Daftar Pustaka
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/22947/penangkapan-ikan-sungai-dengan-racun-marak
http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol6%282%29/risa.pdf
TANAH DAN LAHAN GAMBUT
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organic yan gbasah adalah gambut. Pengertian gambut di sini sebagai bahan onggokan dan secara umum diartikan sebagai bahan tambang, bahan bakar (non-minyak), bahan industry, bahan kompos, dan lain sebagainya.
Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contohnya adalah rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.
Lahan gambut biasanya terbentuk di daerah-daerah yang memiliki Drainase tanah yang buruk, dimana curah hujan di tempat itu sangat tinggi sehingga terjadi genangan-genangan di lantai hutan. Bahan-bahan organik yang terakumulasi di lantai hutan tidak semuanya terdekomposisi secara sempurna dan akhirnya membentuk serat-serat gambut.
Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang bahan asalnya sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik sisa-sisa tumbuhan, dalam keadaan yang selalu tergenang.dimana proses dekomposisinya berlansung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukan dan akumulasi bahan organik membentuk tanah gambut
Suatu tanah baru dapat digolongkan pada tanah gambut bila kedalaman tanah tersebut besar dari 50 cm dan kandungan bahan organiknya besar 65%.
Luas lahan gambut di dunia sekitar 426,2 juta hektar atau 2% luas daratan dunia, yang tersebar pada tidak kurang dari 80 negara di dunia.
Dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo hitosol (hitos dari bahasa Yunani = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai cirri dan sigat yang berbeda dengan jenis tanha mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya. Menurut Soil Taxonomi gambut terbagi dalam empat sub order.
Folist, tumpukan dedaunan atau ranting yang tertimbun krikil atau pasir
Fibrists, bahan organik yang belum atau baru terdekomposisi
Hemists, tingkat dekomposis bahan organik tengah berlangsung
Saprists, gambut yang tingkat dekomposisinya telah lanjut, biasanya berwarna hitam atau coklat kelam.
Berdasarkan penyebaran topografinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. gambut ombrogen: terletak di dataran pantai berawa, mempunyai ketebalan 0.5 – 16 meter, terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu tergenang air, bersifat sangat asam. Contoh penyebarannya di daerah dataran pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua);
b. gambut topogen: terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawa-rawa di daerah dataran rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa, ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat agak asam, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening (Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis, Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa
Tengah); dan
c. gambut pegunungan: terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh penyebarannya di Dataran Tinggi Dieng.
Berdasarkan susunan kimianya tanah gambut dibedakan menjadi:
a. gambut eutrop, bersifat agak asam, kandungan O2 serta unsur haranya lebih tinggi;
b. gambut oligotrop, sangat asam, miskin O2 , miskin unsur hara, biasanya selalu tergenang air; dan
c. mesotrop, peralihan antara eutrop dan oligotrop.
Penyebaran tanah gambut di Indonesia diperkirakan meliputi areal seluas lebih kurang 28.86 juta hektar yakni 13,5% dari luas daratan Indoensia, dimana 8,98 juta hektar dijumpai di Pulau Sumatera sedangkan sisanya tersebar di Pulau Kalimantan, Irian Jaya dan beberapa tempat di Pulau Jawa.
A. Proses pembentukan
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan > 30 cm. proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik, seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Pembentukan gambut di duga terjadi pada periode holosin antara 10.000-5.000 tahun silam. Menurut Andriesse (1974), gambut daratan pesisir di kawasan Asia Tenggara terbentuk sekitar 6.000 tahun silam. Pembentukan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang silam.
Perubahan berupa peningkatan suhu global yang terjadi pada sekitar 10.000 tahun silam mengakibatkan lapisan es di daerah kutub mencair sehingga secara pelan-pelan terjadi peningkatan muka air laut.
Pada zaman es mulai mencair secara pelan-pelan, dataran sunda mulai tergenang yang puncaknya terjadi pada 5.500 tahun silam dengan membentuk garis pantai. Akibat terjadinya transportasi bahan-bahan tanah (lempung, lanau dan pasir) dari pegunungan atau daerah bagian hulu menuju kea rah laut, maka terjadilah pembentukan dataran pantai (regresi) dan garis pantai mengalami pergeseran (trangesi) menjorok lebih ke laut.
Dataran pantai yang terbentuk umumnya mempunyai pengatusan yang jelek atau berupa cekungan sehingga sisa-sisa tumbuhan yang umumnya adaptif seperti tanaman air, pakis, dan bakau tertimbun secara berlapis-lapis.
Gambar : pembentukan gari pantai pada saat 5.500 tahun silam (atas) dan pembentukan dataran pantai sebagai awal endapan gambut (bawah).
Oleh Karena kondisi anaerob, maka timbunan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara bertahap dalam kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tumbuhan-tumbuhan ini menjadi lantai hutan gambut. Pada awal perkembangannya, akar tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas timbuhan sisa tumbuhan (gambut tipis) ini masih dapat mengambil hara mineral dari lapisan di bawahnya (substratum) dan sebagian disumbang dari luapan air sungai. Hasil timbunan berupa bahan organic dari sisa tumbuh-tumbuhan yang relative kaya hara mineral (eutrofik) membentuk gambut topogen.
Gambar: pembentukan timbunan tumbuhan air dan vegetasi lahan basah (atas) dan pembentukan gambut topogen dari aneka ragam sisa tanaman (bawah).
Selanjutnya, begitu lapisan bahan organic bertambah tebal sehingga akar tumbuhan yang hidup di atasnya tidak dapat lagi mengambil hara dari lapisan mineral, dan muka air sungai dan muka air tanah berada jauh di bawah, maka gambut yang terbentuk miskin hara. Hara mineral yang dapat diperoleh tumbuhan hanya semata-mata dari hujan atau hasil perombakan bahan organic setempat. Lapisan gambut yang miskin hara (oligotrofik) ini disebut gambut ombrogen.
Menurut Soekardi dan Hidayat (1998). Terjadinya perubahan muka air tanah yang makin menurun menyebabkan perubahan atas sebagian gambut topogen menjadi gambut ombrogen. Penurunan muka air laut yang diikuti oleh penurunan muka air tanah memberi peluang udara masuk (aerasi) sehingga membantu proses oksidasi sekaligus perombakan terhadap gambut secara intensif berkelanjutan.
Penebangan hutan, perladangan, pengatusan dan kebakaran menyebabkan hutan gambut terbuka. Gambut yang terbuka ini umumnya mengalami proses pematangan. Pematangan ini dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Pematangan fisik
2. Pematangan kimia
3. Pematangan biologic
Pematangan fisik disebabkan oleh dehidratasi akibat pengatusan, avapotranspirasi, dan penyerapan oleh akar-akar tanaman. Dalam hal ini gambut menjadi ambles dan dapat menjadi kering tak balik.
Pematangan kimia disebabkan oleh masuknya udara sehingga terjadi proses kimia berupa perombakan yang menghasilkan humus dan bahan organic halus. Reaksi kimia dan perubahan-perubahan yang terjadi selama perombakan bahan organic sangat rumit dan masih banyak yang belum diketahui. Pematangan biologic terjadi akibat aktivitas makro dan mikroorganisme berupa pencampuradukan bagian-bagian organic dan penghancuran yang menghasilkan bagian-bagian organic yang lebih halus. Akibat aktivitas mikroorganisme ini, maka bagian-bagian struktur tanaman asli menjadi hampir tidak dikenali lagi.
B. Ragam jenis gambut
Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan, tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan baan organiknya. Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut lumutan= gambut yang terdiri atas campuran tanaman air termasuk plankton dan sejenisnya.
2. Gambut seratan = gambut yang terdiri atas campuran tanaman Spagnum dan rumputan.
3. Gambut kayuan = gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan beserta tanaman semak di bawahnya.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut eutrofik = gambut yang banyak mengandung mineral, terutama kalsium karbonat; sebagain besar berada di daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkali. Gambut eutrofik termasuk gambut yang subur karena bahan asalnya dari serat-seratan atau yang memperoleh perkayaan hara mineral secara alami dari lingkungannya. Gambut.
2. Gambut oligotrofik = gambut yang mengandugn sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium, serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4).miskin hara dan umumnya mempunyai ketebalan > 2 m. gambut ini hanya mendapatkan sumbangan hara dari air hujan dan perombakan bahan organic setempat.
3. Gambut mesotrofik = gambut yang berada antara dua golongan di atas.
C. Sifat kimia dan fisika (pH, kandungan hara/bahan organic)
Ciri dan sifat: tidak terjadi deferensiasi horizon secara jelas, ketebalan lebih dari 0.5 meter, warna coklat hingga kehitaman, tekstur debu lempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organic lebih dari 30% untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanah tekstur pasir, umumnya bersifat sangat asam (pH 4.0), kandungan unsur hara rendah.
D. Gambut dan lingkungan
Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa dan suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-tofografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikroorganisme yang diperlukan dalam perombakan. Dengan kata lain, pada kondoso ini laju penimbunan bahan organic lebih besar daripada mineralisasinya. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan tofografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar daripada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi lanau (silt) yang rendah.
Gambut di wilayah tropic, seperti Indonesia, umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa marine atau payau. Ekosistem ini dipengaruhi oleh ayunan pasang surut, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagian gambut dikenal dengan gambut ombrogen yang wilayahnya berada lebih tinggi daripada muka air sungai atau muka air tanah sehingga masukan hara hanya mengandalkan air hujan dan hasil perombakan bahan organic. Jenis gambut ini tergolong oligotrofik. Oleh karena letaknya yang jauh dari sungai sehingga lepas dari pengaruh luapan pasang, maka sering disebt dengan gambut pedalaman. Gambut pedalaman ini mempunyai sifat atau watak yang berbeda dengan gambut dataran pantai atau sungai umumnya. Gambut rawa ini umumnya tersebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Sebagian gambut lainnya terbentuk di wilayah rawa lebak, yaitu wilayah rendah (cekungan) yang paling sedikit selama tiga bulan dalam setahun tergenang dengan tinggi genangan 25 cm atau lebih.
Pada ekosistem dataran tinggi atau pegunungan, gambut terbentuk karena terjadinya keadaan tumpat air (waterlogged) yang didukung oleh keadaan wilayah berupa cekungan. Gambut ini mempunyai sifat yang berbeda dengan gambut rawa karena proses pembentukan dan lingkungannya yang berbeda. Gambut jenis ini dijumpai di beberapa tempat tertentu antara lain
Laju penimbunan gambut di kawasan tropic lebih cepat sekitasr 3-6 kali lipat dibandingkan dengan gambut di kawasan iklim sedang (Neuzil, 1997). Oleh karena itu, gambut tropic mempunyai peranan pada era holosin dalam daur karbon dan neraca (flux) global karbon atmosfer. Namun, perlu diketahui, sekalipun laju penimbunan gambut di kawasasn iklim sedang atau dingin sangat lambat, tetapi regenerasinya berjalan cepat. Sebalikya, dengan gambut-gambut di kawasan tropic yang penyusunnya berasal dari tumbuhan berkayu mempunyai waktu regenerasi lebih panjang. Oleh karena itu, degradasi atau kehilangan gambut di kawasan tropic hampir tidak dapat dipulihkan (Notohadiprawiro, 1998).
Gambut di Indonesia diduga hasil penimbunan dari zaman Holosin (sejak 5-10.000 tahun yang silam).
Dalam konteks lingkungan, gambut mempunyai peranan sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis. Fungsi gambut secara hidrologi menyumpan air. Gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500%-1.000% bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tamping air juga penyeimbang system tata air wilayah. Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal ini penting artinya untuk mencegah terjadinya banjir pada saat musim hujan besar dan kelangkaan air pada musim kemarau. Selain itu, gambut pantai diperlukan sebagai penyangga antara wilayah marin dan wilayah air tawar. Dengan mempertahankan keseimbangan antara keduanya, maka terjadinya penyusupan air laut ke pesisir dan pencemaran di perairan pantai akibat hasil buangan daratan dapat dicegah.
Pemendaman karbon berkaitan dengan pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dan pemendaman karbon berkaitan erat dengan kepentingan lingkungan, baik secara regional maupun global.
Pemendaman karbon berkaitan dalam pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut cukup besar berarti dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 ke atmosfer.
Berkenaan dengan kejadian kebakaran hutan/lahan yang meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian ditunjukkan terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kerugian akibat kebakaran gambut mempunyai spectrum yang sangat luas sehingga menimbulkan kekhawatiran dunia. Kerusakan akibat kebakaran hutan/lahan gambut dapat menimbulkan permasalahan, antara lain sebagai berikut.
1. Perubahan lingkungan dan iklim (suhu, kelembapan) global karena menyusutnya luas hutan.
2. Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kabut asap sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan (batuk, asma, sakit tenggorokan), pneumonia, dan lain sebagainya.
3. Pencemaran udara oleh kabut asat juga telah meyebabkan terganggunya navigasi laut, udara, dan darat sehingga menghambat kelancaran transportasi dan komunikasi.
4. Penurunan atau penyusutan keanekaragaman hayati akibat punahnya sebagian sumber daya genetic dan plasma nutfah.
5. Penurunah atau degradasi lahan dan hutan sehingga menjadi lahan/hutan terlantar yang memerlukan biaya besar jika diperlukan pemugaran.
E. Gambut dan pembangunan
Gambut merupakan aset potensial untuk dapat digunakan baik langsung maupun tidak langsung bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Fungsi gambut, selain sebagai penyangga lingkungan, adalah penghasil berbagai produk seperti kayum flora dan fauna. Dalam kawasan hutan gambut baik di Kalimantan ataupun Sumatra terdapat sekitar 34-8 jenis pohon sebagai penghasil kayu. Selain itu, beraekaragam tanaman baik sebagai bahan makanan maupun obat-obatan tumbuh di lahan hutan-hutan gambut.
Pemanfaatan gambut untuk keperluan lain yang sifatnya non-pertanian antara lain sebagai sumber energy atau pengganti bahan bakar minyak, sebagai bahan mentah industry, pengisi pot tanaman, lembaran bahan isolasi, dan bahan pencampur pupuk untuk budidaya sayur-mayur. Beberapa produk seperti amoniak, alcohol (etanol dan methanol), dan lilin juga dapat dihasilkan dari gambut.
Sebagian pakar lingkungan mencemaskan pemanfaatan gambut secara besar-besaran yang bersifat eksploitatif tanpa terkendali karena gambut merupakan sumber daya alam dari fosil yang tidak dapat dipulihkan. Proses pembentukan gambut memakan waktu puluhan ribu tahun atau paling sedikit 15 generasi umur manusia. Oleh karena itu pemanfaatan gambut harus dilakukan dengan hati-hati dan arif agar tidak habis secara percuma. Mengingat fungsi lingkungan lahan gambut, baik secara regional maupun global cukup penting, maka hilangnya kawasan gambut merupakan keprihatinan besar bagi bangsa Indonesia dan dunia internasional.
F. Kultur Masyarakat di Sekitar Lahan Gambut
Dalam pandangan ekologi, tanah tidak saja mengandung arti fisik, melainkan juga mengandung arti budaya dan spiritual. Dalam artian fisik, tanah hanya dipandang berdasarkan konsistensinya semata. Dalam artian budaya, tanah dipandang sebagai salah satu unsure pembentuk dan yang mempengaruhi budaya. Sedangkan dalam artian spiritual (vertical) tanah dapat dijadikan media untuk memberikan kesadaran akan adanya kekuatan supranatural. Khusus mengenai nilai budaya yang melekat pada tanah, pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat budaya yang mendiaminya. Tanah gambut memiliki sifat unik seperti yang telah dijelaskan di atas. Dari sifat-sifat tersebut, masyarakat akan menyesuaikan budayanya. Di antara budaya yang tampak dari pengaruh tanah gambut adalah:
1. Rumah panggung (tinggi): lahan gambut merupakan tempat yang disukai oleh hewan-hewan untuk tinggal, termasuk hewan berbahaya (ular, kalajengking, kelabang, dan lain-lain) . Dengan struktur rumah yang dekat dengan tanah (rendah), maka hewan-hewan penghuni gambut tersebut akan mudah masuk ke rumah dan memberikan bahaya bagi penghuni.akan tetapi dengan struktur rumah yang tinggi, kemungkinan masuknya hewan-hewan tadi ke dalam rumah menjadi lebih kecil, dan keselamatan anggota keluarga lebih terjaga.
2. Mencangkul dan membakar gambut sebelum lahan digunakan untuk bercocok tanam. Tanah gambut, karena berasal dari materi organic, maka bersifat asam. Sifat asam ini tidak bagus untuk kebanyakan tanaman. Selain itu tidak mungkin menanam di atas gambut. Oleh karena itu sebelum bercocok tanam lapisan gambut harus dibuang, kemudian dibakar di atas lahan itu juga. Setelah dibakar abu gambut tidak dibuang melainkan dibiarkan di atas lahan tadi. Tujuan dari hal ini adalah untuk menetralisir pH lahan, karena gambut bersifat asam sedangkan abunya bersifat basa. Abu diharapkan dapat menaikkan pH lahan sehingga cocok untuk ditanami.
3. Pantangan (larangan) keluar rumah setelah “hujan panas” (hujan yang turun ketika sinar matahari sedang terik, biasanya sebentar dan airnya tidak banyak, hanya rintik-rintik). Pantangan ini terjadi setiap hujan saat panas terjadi. Alasan para orang tua untuk mencegah anak-anaknya keluar adalah adanya hantu atau makhluk halus yang akan menyebabkan mereka sakit bila keluar. Penjelasan ilmiah dari hal ini adalah: hujan panas (biasanya tidak deras dan dalam jumlah sedikit) akan diserap oleh gambut sehingga menjadi lembab. Namun karena setelah hujan langsung terkena sinar matahari, air kembali menguap dan membawa zat-zat bawaan dari gambut. Zat ini jika terhidup atau menempel di tubuh dapat/dikhawatirkan dapat menimbulkan penyakit.
Daftar Pustaka
Anonym. 2008. Jenis/Macam Tanah Di Indonesia - Humus, Gambut, Vulkanik, Laterit, Alluvial, Pasir, Dll. Diakses kamis, 24 Juni 2010. http://organisasi.org/jenis-macam-tanah-di-indonesia-humus-gambut-vulkanik-laterit-alluvial-pasir-dll
http://books.google.co.id/books?id=cUSfbkBsMM0C&pg=PA1&lpg=PA1&dq=pengertian+tanah+gambut&source=bl&ots=BzmLGxQHiW&sig=jpgSCkgwCfqFJhCgeu42swrlDy8&hl=id&ei=mSojTJO2G8aVrAen58T2Cg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CBEQ6AEwADgK#v=onepage&q=pengertian%20tanah%20gambut&f=false
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/Geografi/PEDOSFER.pdf
http://s3.amazonaws.com/ppt-download/kimiatnahgambut-090329125330-phpapp01.pdf?Signature=b1GPKnIqAhwd34OL7RDiV6uFlo0%3D&Expires=1277374948&AWSAccessKeyId=AKIAJLJT267DEGKZDHEQ
___JAWABAN TUGAS-TUGAS DALAM PRINTOUT___
1. Cari contoh tipe aliran sungai dan jenis lahan dan vegetasi tertentu?
2. Mengapa tipe tanah pada satu wilayah akan menentukan kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya?
3. Contoh tanah lempung dan kebudayaan yang ada di dunia dan daerah sekitar?
4. Contoh tanah yang banyak pasir terhadap satu kebudayaan yang ada di dunia dan daerah sekitar?
5. Bagaimana kalau lahannya lahan kapur dan cuaca kering?
6. Mengapa tipe aliran sungai menentukan tipe lahan dan tipe tanah dan vegetasi? Beri contoh!
7. Mengapa tipe aliran sungai dan tipe tanah mempengaruhi tipe perumahan dan jenis hewan piaraan? Beri contoh pada kasus di sekitar anda sendiri!
___JAWABAN___
1. Manusia memiliki arti vertical maupun horizontal terhadap alam. Khusus dalam peran horizontal, manusia akan menjadi bagian yang tidak terpisah dari alam, atau dengan kata lain manusia merupakan salah satu bagian dari system alam. Sebagai komponen system, manusia memiliki ketergantungan terhadap komponen lain, salah satunya tanah. Tanah (yang pada kenyataannya tidak hanya memiliki nilai fisik, tetapi juga nilai budaya dan spiritual) menjadi tempat berpijak, tumbuhnya makanan, tempat mendirikan hunia, dan lain sebagainya (dapat diartikan sebagai kebutuhan manusia terhadap tanah) bagi manusia secara tidak langsung menuntut manusia untuk menyesuaikan cara pemenuhan kebutuhannya dengan pihak “pemenuh kebutuhan”/tanah. Dengan kata lain mau tidak mau semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan tanah dikendalikan secara pasif metodenya oleh tanah itu sendiri, meski manusia tetap sebagai control aktif.
2. Sungai kuning (Hwang-Ho) di cina banyak membawa lumpur kuning. Lumpur ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk membuat perabot rumah tangga dan keramik. Budaya membuat perabot dan keramik dari lumpur kuning ini akhrinya berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar aliran sungai maupun dunia (selain seni ukir dan lukis pada perabot/keramik tersebut).
3. Contoh tanah yang banyak//didominasi oleh pasir adalah daerah gurun. Gurun-gurun maha luas yang merentang dari India sampai Afrika Barat penuh dengan bangunan-bangunan yang menawan seperti ini. Penghuni gurun-gurun ini tinggal dalam rumah-rumah yang sangat efisien yang dibuat dari lumpur. Lumpur merupakan salah satu jenis bahan yang paling murah, yang persediaannya berlimpah-limpah. Penghuni gurun sudah lama tahu, lumpur bahan yang paling ideal bagi mereka. Lumpur menyerap panas di siang hari, dan pada malam hari melepaskannya perlahan-lahan. Dengan sedikit kreativitas, lumpur juga dapat dibuat menjadi kolom-kolom penyangga, diukur menjadi relief-relief yang indah, dan dibentuk menjadi dinding raksasa dan menara-menara tinggi.
4. Lahan kapur identik dengan lahan yang kering dan kurang subur, sehingga untuk mendapatkan air sangat sulit, karena air sangat mudah meresap ke dalam tanah. Selain itu, kurang suburnya lahan membuat daerah kapur kurang cocok untuk bercocok tanam. Sebagai bentuk pemberdayaan terhadap lahan kapur ini, masyarakat ada yang membuat membuat solusi lapangan pekerjaan, yaitu kerajinan dari kapur sehingga menjadi tradisi turun temurun yang kuat. Namun ada juga yang memilih untuk merantau ke daerah lain yang lebih potensial.
5. Karena sungai dengan tipe aliran yang berbeda memiliki sifat yang khas. Sifat khas ini khususnya dalam hal sedimen yang diangkut dan jenis lahan/tanah yang dialiri, serta fisik sungai itu sendiri. Sedimen yang diangkut akan semakin banyak jika tipe aliran sungai memberikan kemungkinan erosi yang semakin besar terhadap lahan, dan lahan yang dialiri tanahnya mudah tergerus/lempung/tidak keras. Sedimen yang diangkut akan di bawa ke daerah hilir. Sedimen ini biasanya kaya akan unsure hara tertentu sehingga cocok untuk pertumbuhan tumbuhan tertentu pula. Sehingga jika ada suksesi primer lahan, akan berkembang suatu vegetasi. Selain itu, jenis sedimen yang dibawa banyak tidaknya, dan jenisnya menentukan jenis lahan. Jika sedimen terlarut yang di bawa banyak maka kemungkinan besar lahan DAS hilir akan semakin dangkal karena akumulasi sedimen yang diangkut air/sungai. Berkaitan dengan jenis sedimen, terakumulasinya jenis sedimen yang sama akan membentuk suatu lahan baru. Selain itu, tipe aliran sungai memberikan tekanan tertentu pada daerah yang dialiri. Arus sungai dapat mengakibatkan erosi dasar dan tepi sungai, sehingga menjadi lebih dalam atau lebar. Selain itu, karena tergerus terus, sungai dapat menjadi sangat dalam dan tebingnya curam, seperti Grand Canyon di Amerika.
6. Karena seperti yang telah dijelaskan di atas, lingkungan (tanah dan sungai) memiliki sifat memaksa secara pasif terhadap manusia untuk menyesuaikan diri mereka terhadap lingkungan. Manifestasinya dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat di daerah aliran sungai (DAS). Jika manusia/masyarakat tidak mau tunduk kepada lingkungan, maka mereka akan “dimusuhi” oleh lingkungan. Dalam kaitannya dengan tipe aliran sungai terhadap tipe perumahan, manusia akan cenderung memperhatika perilaku sungai untuk menentukan tipe hunian mereka. Tidak mungkin mereka akan membuat rumah yang rendah terhadap tanah sementara mereka tahu bahwa daerahnya langganan banjir, melainkan mereka akan membuat rumah yang tinggi dari permukaan tanah. Sedangkan berkenaan dengan jenis hewan peliharaan, tanah tertentu memiliki potensinya masing-masing. Hewan peliharaan juga tergantung pada tanah untuk hidupnya, sehingga secara tidak langsung, manusia sebagai factor yang paling berperan akan berusaha untuk menyesuaikan jenis peliharaannya dengan potensi yang ditawarkan oleh lahan/tanah. Jika dia mencoba untuk tidak memperhatikan aspek tanah/lahan, maka dia akan “dimusuhi” lingkungan, kemungkinan besar hewan peliharaannya tidak akan berkembang. Pengaruh tipe aliran sungai terhadap hewan peliharaan, dapat kita ambil contoh pembuatan keramba dan pemilihan jenis ikan yang sesuai dengan kondisi aliran sungai. Tidak mungkin memelihara ikan yang hidup di air dengan arus deras di keramba/sungai yang arusnya relative tenang, dan demikian pula sebaliknya. Selain itu, dapat pula kita ambil contoh pada pembuatan rumah di atas air pada sungai yang arusnya tidak deras. Contoh tipe aliran sungai yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat : pasar terapung muara kuin Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Para pedagang dan pembeli menggunakan jukung, sebutan perahu dalam bahasa Banjar. Pasar ini mulai setelah shalat Subuh sampai selepas pukul 07:00 pagi. Matahari terbit memantulkan cahaya di antara transaksi sayur-mayur dan hasil kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran sungai Barito dan anak-anak sungainya. Aliran sungai ini tidak deras, sehingga memungkinkan untuk aktivitas pasar.
Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contohnya adalah rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.
Lahan gambut biasanya terbentuk di daerah-daerah yang memiliki Drainase tanah yang buruk, dimana curah hujan di tempat itu sangat tinggi sehingga terjadi genangan-genangan di lantai hutan. Bahan-bahan organik yang terakumulasi di lantai hutan tidak semuanya terdekomposisi secara sempurna dan akhirnya membentuk serat-serat gambut.
Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang bahan asalnya sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik sisa-sisa tumbuhan, dalam keadaan yang selalu tergenang.dimana proses dekomposisinya berlansung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukan dan akumulasi bahan organik membentuk tanah gambut
Suatu tanah baru dapat digolongkan pada tanah gambut bila kedalaman tanah tersebut besar dari 50 cm dan kandungan bahan organiknya besar 65%.
Luas lahan gambut di dunia sekitar 426,2 juta hektar atau 2% luas daratan dunia, yang tersebar pada tidak kurang dari 80 negara di dunia.
Dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo hitosol (hitos dari bahasa Yunani = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai cirri dan sigat yang berbeda dengan jenis tanha mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya. Menurut Soil Taxonomi gambut terbagi dalam empat sub order.
Folist, tumpukan dedaunan atau ranting yang tertimbun krikil atau pasir
Fibrists, bahan organik yang belum atau baru terdekomposisi
Hemists, tingkat dekomposis bahan organik tengah berlangsung
Saprists, gambut yang tingkat dekomposisinya telah lanjut, biasanya berwarna hitam atau coklat kelam.
Berdasarkan penyebaran topografinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. gambut ombrogen: terletak di dataran pantai berawa, mempunyai ketebalan 0.5 – 16 meter, terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu tergenang air, bersifat sangat asam. Contoh penyebarannya di daerah dataran pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua);
b. gambut topogen: terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawa-rawa di daerah dataran rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa, ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat agak asam, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening (Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis, Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa
Tengah); dan
c. gambut pegunungan: terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh penyebarannya di Dataran Tinggi Dieng.
Berdasarkan susunan kimianya tanah gambut dibedakan menjadi:
a. gambut eutrop, bersifat agak asam, kandungan O2 serta unsur haranya lebih tinggi;
b. gambut oligotrop, sangat asam, miskin O2 , miskin unsur hara, biasanya selalu tergenang air; dan
c. mesotrop, peralihan antara eutrop dan oligotrop.
Penyebaran tanah gambut di Indonesia diperkirakan meliputi areal seluas lebih kurang 28.86 juta hektar yakni 13,5% dari luas daratan Indoensia, dimana 8,98 juta hektar dijumpai di Pulau Sumatera sedangkan sisanya tersebar di Pulau Kalimantan, Irian Jaya dan beberapa tempat di Pulau Jawa.
A. Proses pembentukan
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan > 30 cm. proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik, seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Pembentukan gambut di duga terjadi pada periode holosin antara 10.000-5.000 tahun silam. Menurut Andriesse (1974), gambut daratan pesisir di kawasan Asia Tenggara terbentuk sekitar 6.000 tahun silam. Pembentukan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang silam.
Perubahan berupa peningkatan suhu global yang terjadi pada sekitar 10.000 tahun silam mengakibatkan lapisan es di daerah kutub mencair sehingga secara pelan-pelan terjadi peningkatan muka air laut.
Pada zaman es mulai mencair secara pelan-pelan, dataran sunda mulai tergenang yang puncaknya terjadi pada 5.500 tahun silam dengan membentuk garis pantai. Akibat terjadinya transportasi bahan-bahan tanah (lempung, lanau dan pasir) dari pegunungan atau daerah bagian hulu menuju kea rah laut, maka terjadilah pembentukan dataran pantai (regresi) dan garis pantai mengalami pergeseran (trangesi) menjorok lebih ke laut.
Dataran pantai yang terbentuk umumnya mempunyai pengatusan yang jelek atau berupa cekungan sehingga sisa-sisa tumbuhan yang umumnya adaptif seperti tanaman air, pakis, dan bakau tertimbun secara berlapis-lapis.
Gambar : pembentukan gari pantai pada saat 5.500 tahun silam (atas) dan pembentukan dataran pantai sebagai awal endapan gambut (bawah).
Oleh Karena kondisi anaerob, maka timbunan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara bertahap dalam kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tumbuhan-tumbuhan ini menjadi lantai hutan gambut. Pada awal perkembangannya, akar tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas timbuhan sisa tumbuhan (gambut tipis) ini masih dapat mengambil hara mineral dari lapisan di bawahnya (substratum) dan sebagian disumbang dari luapan air sungai. Hasil timbunan berupa bahan organic dari sisa tumbuh-tumbuhan yang relative kaya hara mineral (eutrofik) membentuk gambut topogen.
Gambar: pembentukan timbunan tumbuhan air dan vegetasi lahan basah (atas) dan pembentukan gambut topogen dari aneka ragam sisa tanaman (bawah).
Selanjutnya, begitu lapisan bahan organic bertambah tebal sehingga akar tumbuhan yang hidup di atasnya tidak dapat lagi mengambil hara dari lapisan mineral, dan muka air sungai dan muka air tanah berada jauh di bawah, maka gambut yang terbentuk miskin hara. Hara mineral yang dapat diperoleh tumbuhan hanya semata-mata dari hujan atau hasil perombakan bahan organic setempat. Lapisan gambut yang miskin hara (oligotrofik) ini disebut gambut ombrogen.
Menurut Soekardi dan Hidayat (1998). Terjadinya perubahan muka air tanah yang makin menurun menyebabkan perubahan atas sebagian gambut topogen menjadi gambut ombrogen. Penurunan muka air laut yang diikuti oleh penurunan muka air tanah memberi peluang udara masuk (aerasi) sehingga membantu proses oksidasi sekaligus perombakan terhadap gambut secara intensif berkelanjutan.
Penebangan hutan, perladangan, pengatusan dan kebakaran menyebabkan hutan gambut terbuka. Gambut yang terbuka ini umumnya mengalami proses pematangan. Pematangan ini dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Pematangan fisik
2. Pematangan kimia
3. Pematangan biologic
Pematangan fisik disebabkan oleh dehidratasi akibat pengatusan, avapotranspirasi, dan penyerapan oleh akar-akar tanaman. Dalam hal ini gambut menjadi ambles dan dapat menjadi kering tak balik.
Pematangan kimia disebabkan oleh masuknya udara sehingga terjadi proses kimia berupa perombakan yang menghasilkan humus dan bahan organic halus. Reaksi kimia dan perubahan-perubahan yang terjadi selama perombakan bahan organic sangat rumit dan masih banyak yang belum diketahui. Pematangan biologic terjadi akibat aktivitas makro dan mikroorganisme berupa pencampuradukan bagian-bagian organic dan penghancuran yang menghasilkan bagian-bagian organic yang lebih halus. Akibat aktivitas mikroorganisme ini, maka bagian-bagian struktur tanaman asli menjadi hampir tidak dikenali lagi.
B. Ragam jenis gambut
Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan, tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan baan organiknya. Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut lumutan= gambut yang terdiri atas campuran tanaman air termasuk plankton dan sejenisnya.
2. Gambut seratan = gambut yang terdiri atas campuran tanaman Spagnum dan rumputan.
3. Gambut kayuan = gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan beserta tanaman semak di bawahnya.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut eutrofik = gambut yang banyak mengandung mineral, terutama kalsium karbonat; sebagain besar berada di daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkali. Gambut eutrofik termasuk gambut yang subur karena bahan asalnya dari serat-seratan atau yang memperoleh perkayaan hara mineral secara alami dari lingkungannya. Gambut.
2. Gambut oligotrofik = gambut yang mengandugn sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium, serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4).miskin hara dan umumnya mempunyai ketebalan > 2 m. gambut ini hanya mendapatkan sumbangan hara dari air hujan dan perombakan bahan organic setempat.
3. Gambut mesotrofik = gambut yang berada antara dua golongan di atas.
C. Sifat kimia dan fisika (pH, kandungan hara/bahan organic)
Ciri dan sifat: tidak terjadi deferensiasi horizon secara jelas, ketebalan lebih dari 0.5 meter, warna coklat hingga kehitaman, tekstur debu lempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organic lebih dari 30% untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanah tekstur pasir, umumnya bersifat sangat asam (pH 4.0), kandungan unsur hara rendah.
D. Gambut dan lingkungan
Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa dan suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-tofografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikroorganisme yang diperlukan dalam perombakan. Dengan kata lain, pada kondoso ini laju penimbunan bahan organic lebih besar daripada mineralisasinya. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan tofografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar daripada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi lanau (silt) yang rendah.
Gambut di wilayah tropic, seperti Indonesia, umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa marine atau payau. Ekosistem ini dipengaruhi oleh ayunan pasang surut, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagian gambut dikenal dengan gambut ombrogen yang wilayahnya berada lebih tinggi daripada muka air sungai atau muka air tanah sehingga masukan hara hanya mengandalkan air hujan dan hasil perombakan bahan organic. Jenis gambut ini tergolong oligotrofik. Oleh karena letaknya yang jauh dari sungai sehingga lepas dari pengaruh luapan pasang, maka sering disebt dengan gambut pedalaman. Gambut pedalaman ini mempunyai sifat atau watak yang berbeda dengan gambut dataran pantai atau sungai umumnya. Gambut rawa ini umumnya tersebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Sebagian gambut lainnya terbentuk di wilayah rawa lebak, yaitu wilayah rendah (cekungan) yang paling sedikit selama tiga bulan dalam setahun tergenang dengan tinggi genangan 25 cm atau lebih.
Pada ekosistem dataran tinggi atau pegunungan, gambut terbentuk karena terjadinya keadaan tumpat air (waterlogged) yang didukung oleh keadaan wilayah berupa cekungan. Gambut ini mempunyai sifat yang berbeda dengan gambut rawa karena proses pembentukan dan lingkungannya yang berbeda. Gambut jenis ini dijumpai di beberapa tempat tertentu antara lain
Laju penimbunan gambut di kawasan tropic lebih cepat sekitasr 3-6 kali lipat dibandingkan dengan gambut di kawasan iklim sedang (Neuzil, 1997). Oleh karena itu, gambut tropic mempunyai peranan pada era holosin dalam daur karbon dan neraca (flux) global karbon atmosfer. Namun, perlu diketahui, sekalipun laju penimbunan gambut di kawasasn iklim sedang atau dingin sangat lambat, tetapi regenerasinya berjalan cepat. Sebalikya, dengan gambut-gambut di kawasan tropic yang penyusunnya berasal dari tumbuhan berkayu mempunyai waktu regenerasi lebih panjang. Oleh karena itu, degradasi atau kehilangan gambut di kawasan tropic hampir tidak dapat dipulihkan (Notohadiprawiro, 1998).
Gambut di Indonesia diduga hasil penimbunan dari zaman Holosin (sejak 5-10.000 tahun yang silam).
Dalam konteks lingkungan, gambut mempunyai peranan sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis. Fungsi gambut secara hidrologi menyumpan air. Gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500%-1.000% bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tamping air juga penyeimbang system tata air wilayah. Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal ini penting artinya untuk mencegah terjadinya banjir pada saat musim hujan besar dan kelangkaan air pada musim kemarau. Selain itu, gambut pantai diperlukan sebagai penyangga antara wilayah marin dan wilayah air tawar. Dengan mempertahankan keseimbangan antara keduanya, maka terjadinya penyusupan air laut ke pesisir dan pencemaran di perairan pantai akibat hasil buangan daratan dapat dicegah.
Pemendaman karbon berkaitan dengan pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dan pemendaman karbon berkaitan erat dengan kepentingan lingkungan, baik secara regional maupun global.
Pemendaman karbon berkaitan dalam pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut cukup besar berarti dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 ke atmosfer.
Berkenaan dengan kejadian kebakaran hutan/lahan yang meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian ditunjukkan terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kerugian akibat kebakaran gambut mempunyai spectrum yang sangat luas sehingga menimbulkan kekhawatiran dunia. Kerusakan akibat kebakaran hutan/lahan gambut dapat menimbulkan permasalahan, antara lain sebagai berikut.
1. Perubahan lingkungan dan iklim (suhu, kelembapan) global karena menyusutnya luas hutan.
2. Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kabut asap sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan (batuk, asma, sakit tenggorokan), pneumonia, dan lain sebagainya.
3. Pencemaran udara oleh kabut asat juga telah meyebabkan terganggunya navigasi laut, udara, dan darat sehingga menghambat kelancaran transportasi dan komunikasi.
4. Penurunan atau penyusutan keanekaragaman hayati akibat punahnya sebagian sumber daya genetic dan plasma nutfah.
5. Penurunah atau degradasi lahan dan hutan sehingga menjadi lahan/hutan terlantar yang memerlukan biaya besar jika diperlukan pemugaran.
E. Gambut dan pembangunan
Gambut merupakan aset potensial untuk dapat digunakan baik langsung maupun tidak langsung bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Fungsi gambut, selain sebagai penyangga lingkungan, adalah penghasil berbagai produk seperti kayum flora dan fauna. Dalam kawasan hutan gambut baik di Kalimantan ataupun Sumatra terdapat sekitar 34-8 jenis pohon sebagai penghasil kayu. Selain itu, beraekaragam tanaman baik sebagai bahan makanan maupun obat-obatan tumbuh di lahan hutan-hutan gambut.
Pemanfaatan gambut untuk keperluan lain yang sifatnya non-pertanian antara lain sebagai sumber energy atau pengganti bahan bakar minyak, sebagai bahan mentah industry, pengisi pot tanaman, lembaran bahan isolasi, dan bahan pencampur pupuk untuk budidaya sayur-mayur. Beberapa produk seperti amoniak, alcohol (etanol dan methanol), dan lilin juga dapat dihasilkan dari gambut.
Sebagian pakar lingkungan mencemaskan pemanfaatan gambut secara besar-besaran yang bersifat eksploitatif tanpa terkendali karena gambut merupakan sumber daya alam dari fosil yang tidak dapat dipulihkan. Proses pembentukan gambut memakan waktu puluhan ribu tahun atau paling sedikit 15 generasi umur manusia. Oleh karena itu pemanfaatan gambut harus dilakukan dengan hati-hati dan arif agar tidak habis secara percuma. Mengingat fungsi lingkungan lahan gambut, baik secara regional maupun global cukup penting, maka hilangnya kawasan gambut merupakan keprihatinan besar bagi bangsa Indonesia dan dunia internasional.
F. Kultur Masyarakat di Sekitar Lahan Gambut
Dalam pandangan ekologi, tanah tidak saja mengandung arti fisik, melainkan juga mengandung arti budaya dan spiritual. Dalam artian fisik, tanah hanya dipandang berdasarkan konsistensinya semata. Dalam artian budaya, tanah dipandang sebagai salah satu unsure pembentuk dan yang mempengaruhi budaya. Sedangkan dalam artian spiritual (vertical) tanah dapat dijadikan media untuk memberikan kesadaran akan adanya kekuatan supranatural. Khusus mengenai nilai budaya yang melekat pada tanah, pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat budaya yang mendiaminya. Tanah gambut memiliki sifat unik seperti yang telah dijelaskan di atas. Dari sifat-sifat tersebut, masyarakat akan menyesuaikan budayanya. Di antara budaya yang tampak dari pengaruh tanah gambut adalah:
1. Rumah panggung (tinggi): lahan gambut merupakan tempat yang disukai oleh hewan-hewan untuk tinggal, termasuk hewan berbahaya (ular, kalajengking, kelabang, dan lain-lain) . Dengan struktur rumah yang dekat dengan tanah (rendah), maka hewan-hewan penghuni gambut tersebut akan mudah masuk ke rumah dan memberikan bahaya bagi penghuni.akan tetapi dengan struktur rumah yang tinggi, kemungkinan masuknya hewan-hewan tadi ke dalam rumah menjadi lebih kecil, dan keselamatan anggota keluarga lebih terjaga.
2. Mencangkul dan membakar gambut sebelum lahan digunakan untuk bercocok tanam. Tanah gambut, karena berasal dari materi organic, maka bersifat asam. Sifat asam ini tidak bagus untuk kebanyakan tanaman. Selain itu tidak mungkin menanam di atas gambut. Oleh karena itu sebelum bercocok tanam lapisan gambut harus dibuang, kemudian dibakar di atas lahan itu juga. Setelah dibakar abu gambut tidak dibuang melainkan dibiarkan di atas lahan tadi. Tujuan dari hal ini adalah untuk menetralisir pH lahan, karena gambut bersifat asam sedangkan abunya bersifat basa. Abu diharapkan dapat menaikkan pH lahan sehingga cocok untuk ditanami.
3. Pantangan (larangan) keluar rumah setelah “hujan panas” (hujan yang turun ketika sinar matahari sedang terik, biasanya sebentar dan airnya tidak banyak, hanya rintik-rintik). Pantangan ini terjadi setiap hujan saat panas terjadi. Alasan para orang tua untuk mencegah anak-anaknya keluar adalah adanya hantu atau makhluk halus yang akan menyebabkan mereka sakit bila keluar. Penjelasan ilmiah dari hal ini adalah: hujan panas (biasanya tidak deras dan dalam jumlah sedikit) akan diserap oleh gambut sehingga menjadi lembab. Namun karena setelah hujan langsung terkena sinar matahari, air kembali menguap dan membawa zat-zat bawaan dari gambut. Zat ini jika terhidup atau menempel di tubuh dapat/dikhawatirkan dapat menimbulkan penyakit.
Daftar Pustaka
Anonym. 2008. Jenis/Macam Tanah Di Indonesia - Humus, Gambut, Vulkanik, Laterit, Alluvial, Pasir, Dll. Diakses kamis, 24 Juni 2010. http://organisasi.org/jenis-macam-tanah-di-indonesia-humus-gambut-vulkanik-laterit-alluvial-pasir-dll
http://books.google.co.id/books?id=cUSfbkBsMM0C&pg=PA1&lpg=PA1&dq=pengertian+tanah+gambut&source=bl&ots=BzmLGxQHiW&sig=jpgSCkgwCfqFJhCgeu42swrlDy8&hl=id&ei=mSojTJO2G8aVrAen58T2Cg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CBEQ6AEwADgK#v=onepage&q=pengertian%20tanah%20gambut&f=false
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/Geografi/PEDOSFER.pdf
http://s3.amazonaws.com/ppt-download/kimiatnahgambut-090329125330-phpapp01.pdf?Signature=b1GPKnIqAhwd34OL7RDiV6uFlo0%3D&Expires=1277374948&AWSAccessKeyId=AKIAJLJT267DEGKZDHEQ
___JAWABAN TUGAS-TUGAS DALAM PRINTOUT___
1. Cari contoh tipe aliran sungai dan jenis lahan dan vegetasi tertentu?
2. Mengapa tipe tanah pada satu wilayah akan menentukan kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya?
3. Contoh tanah lempung dan kebudayaan yang ada di dunia dan daerah sekitar?
4. Contoh tanah yang banyak pasir terhadap satu kebudayaan yang ada di dunia dan daerah sekitar?
5. Bagaimana kalau lahannya lahan kapur dan cuaca kering?
6. Mengapa tipe aliran sungai menentukan tipe lahan dan tipe tanah dan vegetasi? Beri contoh!
7. Mengapa tipe aliran sungai dan tipe tanah mempengaruhi tipe perumahan dan jenis hewan piaraan? Beri contoh pada kasus di sekitar anda sendiri!
___JAWABAN___
1. Manusia memiliki arti vertical maupun horizontal terhadap alam. Khusus dalam peran horizontal, manusia akan menjadi bagian yang tidak terpisah dari alam, atau dengan kata lain manusia merupakan salah satu bagian dari system alam. Sebagai komponen system, manusia memiliki ketergantungan terhadap komponen lain, salah satunya tanah. Tanah (yang pada kenyataannya tidak hanya memiliki nilai fisik, tetapi juga nilai budaya dan spiritual) menjadi tempat berpijak, tumbuhnya makanan, tempat mendirikan hunia, dan lain sebagainya (dapat diartikan sebagai kebutuhan manusia terhadap tanah) bagi manusia secara tidak langsung menuntut manusia untuk menyesuaikan cara pemenuhan kebutuhannya dengan pihak “pemenuh kebutuhan”/tanah. Dengan kata lain mau tidak mau semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan tanah dikendalikan secara pasif metodenya oleh tanah itu sendiri, meski manusia tetap sebagai control aktif.
2. Sungai kuning (Hwang-Ho) di cina banyak membawa lumpur kuning. Lumpur ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk membuat perabot rumah tangga dan keramik. Budaya membuat perabot dan keramik dari lumpur kuning ini akhrinya berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar aliran sungai maupun dunia (selain seni ukir dan lukis pada perabot/keramik tersebut).
3. Contoh tanah yang banyak//didominasi oleh pasir adalah daerah gurun. Gurun-gurun maha luas yang merentang dari India sampai Afrika Barat penuh dengan bangunan-bangunan yang menawan seperti ini. Penghuni gurun-gurun ini tinggal dalam rumah-rumah yang sangat efisien yang dibuat dari lumpur. Lumpur merupakan salah satu jenis bahan yang paling murah, yang persediaannya berlimpah-limpah. Penghuni gurun sudah lama tahu, lumpur bahan yang paling ideal bagi mereka. Lumpur menyerap panas di siang hari, dan pada malam hari melepaskannya perlahan-lahan. Dengan sedikit kreativitas, lumpur juga dapat dibuat menjadi kolom-kolom penyangga, diukur menjadi relief-relief yang indah, dan dibentuk menjadi dinding raksasa dan menara-menara tinggi.
4. Lahan kapur identik dengan lahan yang kering dan kurang subur, sehingga untuk mendapatkan air sangat sulit, karena air sangat mudah meresap ke dalam tanah. Selain itu, kurang suburnya lahan membuat daerah kapur kurang cocok untuk bercocok tanam. Sebagai bentuk pemberdayaan terhadap lahan kapur ini, masyarakat ada yang membuat membuat solusi lapangan pekerjaan, yaitu kerajinan dari kapur sehingga menjadi tradisi turun temurun yang kuat. Namun ada juga yang memilih untuk merantau ke daerah lain yang lebih potensial.
5. Karena sungai dengan tipe aliran yang berbeda memiliki sifat yang khas. Sifat khas ini khususnya dalam hal sedimen yang diangkut dan jenis lahan/tanah yang dialiri, serta fisik sungai itu sendiri. Sedimen yang diangkut akan semakin banyak jika tipe aliran sungai memberikan kemungkinan erosi yang semakin besar terhadap lahan, dan lahan yang dialiri tanahnya mudah tergerus/lempung/tidak keras. Sedimen yang diangkut akan di bawa ke daerah hilir. Sedimen ini biasanya kaya akan unsure hara tertentu sehingga cocok untuk pertumbuhan tumbuhan tertentu pula. Sehingga jika ada suksesi primer lahan, akan berkembang suatu vegetasi. Selain itu, jenis sedimen yang dibawa banyak tidaknya, dan jenisnya menentukan jenis lahan. Jika sedimen terlarut yang di bawa banyak maka kemungkinan besar lahan DAS hilir akan semakin dangkal karena akumulasi sedimen yang diangkut air/sungai. Berkaitan dengan jenis sedimen, terakumulasinya jenis sedimen yang sama akan membentuk suatu lahan baru. Selain itu, tipe aliran sungai memberikan tekanan tertentu pada daerah yang dialiri. Arus sungai dapat mengakibatkan erosi dasar dan tepi sungai, sehingga menjadi lebih dalam atau lebar. Selain itu, karena tergerus terus, sungai dapat menjadi sangat dalam dan tebingnya curam, seperti Grand Canyon di Amerika.
6. Karena seperti yang telah dijelaskan di atas, lingkungan (tanah dan sungai) memiliki sifat memaksa secara pasif terhadap manusia untuk menyesuaikan diri mereka terhadap lingkungan. Manifestasinya dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat di daerah aliran sungai (DAS). Jika manusia/masyarakat tidak mau tunduk kepada lingkungan, maka mereka akan “dimusuhi” oleh lingkungan. Dalam kaitannya dengan tipe aliran sungai terhadap tipe perumahan, manusia akan cenderung memperhatika perilaku sungai untuk menentukan tipe hunian mereka. Tidak mungkin mereka akan membuat rumah yang rendah terhadap tanah sementara mereka tahu bahwa daerahnya langganan banjir, melainkan mereka akan membuat rumah yang tinggi dari permukaan tanah. Sedangkan berkenaan dengan jenis hewan peliharaan, tanah tertentu memiliki potensinya masing-masing. Hewan peliharaan juga tergantung pada tanah untuk hidupnya, sehingga secara tidak langsung, manusia sebagai factor yang paling berperan akan berusaha untuk menyesuaikan jenis peliharaannya dengan potensi yang ditawarkan oleh lahan/tanah. Jika dia mencoba untuk tidak memperhatikan aspek tanah/lahan, maka dia akan “dimusuhi” lingkungan, kemungkinan besar hewan peliharaannya tidak akan berkembang. Pengaruh tipe aliran sungai terhadap hewan peliharaan, dapat kita ambil contoh pembuatan keramba dan pemilihan jenis ikan yang sesuai dengan kondisi aliran sungai. Tidak mungkin memelihara ikan yang hidup di air dengan arus deras di keramba/sungai yang arusnya relative tenang, dan demikian pula sebaliknya. Selain itu, dapat pula kita ambil contoh pada pembuatan rumah di atas air pada sungai yang arusnya tidak deras. Contoh tipe aliran sungai yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat : pasar terapung muara kuin Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Para pedagang dan pembeli menggunakan jukung, sebutan perahu dalam bahasa Banjar. Pasar ini mulai setelah shalat Subuh sampai selepas pukul 07:00 pagi. Matahari terbit memantulkan cahaya di antara transaksi sayur-mayur dan hasil kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran sungai Barito dan anak-anak sungainya. Aliran sungai ini tidak deras, sehingga memungkinkan untuk aktivitas pasar.
Langganan:
Postingan (Atom)