Kamis, 24 Februari 2011
Jumat, 21 Januari 2011
Keadilan Bagi Si Miskin (Menerapkan Prinsip Kepolosan Cermin Dalam Hukum)
Nama : Yuliansyah
NIM : 07304249018
Prodi : Pendidikan Biologi Landak
A. Kasus-Kasus Terkini
Di negeri ini, penegakan hukum masih terlihat “Keras kepada kaum lemah, loyo saat berdapan dengan si kuat.” Bahkan mantan wakil presiden jusuf kalla sendiri mengatakan bahwa dari sisi ekonomi Indonesia sudah membaik, tapi belum dari sisi hukum. Hal ini mengindikasikan
Ada Manisih, Sri Suratmi, Juwono, dan Rusnoto karena diduga mencuri kapuk randu seberat 14 kg milik sebuah perusahaan, sempat ditahan selama 24 hari, lantas dihukum bersalah oleh pengadilan. Parto juga mengalami nasib serupa. Dia mencuri lima batang jagung (setara dengan harga Rp 10.000) untuk tambahan makanan sapinya, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dengan tuduhan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Selain kasus di atas, masih banyak kasus lain yang tidak kalah ironisnya mengenai hukum di Negara ini.
B. Perbedaan Antara Si Kaya Dan Si Miskin
Memang bukan suatu yang mudah pula untuk menyalahkan aparat penegak hukum sebagai biang ketidak adilan di negeri ini. Di masyarakat sendiri kita sudah melihat kenyataan bahwa kita secara sadar atau tidak sadar sudah melakukan pembedaan sendiri terhadap si kaya dan si miskin. Si kaya otomatis kita hormati, omongannya di dengar , dan lain-lain, tidak dibantah, yang mungkin karena takut, atau keterpaksaan,. Sedangkan kepada si miskin kita lebih sering menyombongkan diri, semena-mena, tidak menghargai, karena kita tidak takut dan tidak ada alasan yang membuat kita merasa harus menghormati mereka.
Hal ini terbawa dalam semua aspek kehidupan. Dari kehidupan tingkatan bawah, sampai kehidupan di tingkatan atas, termasuklah dalam dunia “peradilan”. Kaya dan miskin, seolah menjadi salah satu kata kunci dalam pola pikir kita. Kepada si kaya kita segan, kepada si miskin kita garang.
C. Prinsip Cermin Datar
Semua “dasar teori” yang menyebabkan kita membiasakan diri mengklasifikasi tindakan terhadap si kaya dan si miskin memang sulit untuk dihilangkan. Dasar teori itu seakan sudah mendarah daging di dalam diri kita. Namun yang harus kita tinjau sekarang apakah di mata hukum pun klasifikasi-klasifikasi pribadi tersebut masih kita pertahankan? Bukankah symbol peradilan yang digaungkan adalah gambar sebuah neraca sederhana yang timbangannya seimbang? Atau memang ada kesalahan dalam penetapan symbol tersebut yang kini sedang terjadi karena di dalam symbol tersebut neracanya sedang kosong sehingga seimbang, sedangkan jika sudah digunakan untuk menimbang-nimbang hukum neraca tersebut tidak lagi seimbang melainkan berat sebelah??
Hukum sebagai alat untuk mengendalikan dan memberikan balasan sudah seharusnya melihat pada kepolosan sebuah cermin. Cermin, tidak akan pernah bohong. Cermin begitu jujur: ketika yang bercermin orang yang tinggi, maka bayangannya akan tinggi. Ketika yang bercermin padanya orang yang rendah, maka yang terlihat bayangannya rendah. Hitam baju orang yang dipakai, hitam yang dia pantulkan. Putih, putih pula yang ia pantulkan. Hukum seharusnya mengikuti prinsip ini. Harus!!
D. Klasifikasi Hukum: KUHP Khusus Orang Kaya, KUHP Khusus Orang Miskin
Oleh karena itu, penulis mengajukan satu solusi yang menurut penulis bisa membawa prinsip kepolosan cermin dalam hukum, yaitu dengan mengklasifikasi hukum berdasarkan tingkat ekonomi, dalam artian diperlukan revisi hukum dengan memisahkan aturan hukum si kaya dan si miskin, yang mungkin wujudnya bisa dalam bentuk KUHP khusus orang kaya dan KUHP khusus orang miskin, atau masih dalam satu buku tetapi untuk hukuman yang diberikan diberi keterangan hukuman bagi si kaya berupa apa dan berapa, dan jika yang melakukan si miskin hukumannya berupa apa dan berapa. Tentunya lagi, hukuman bagi si miskin harus jauh lebih ringan dibandingkan hukuman bagi si kaya yang melakukan pelanggaran yang sama.
E. Orang Miskin Sudah Menderita Setiap Hari
Alasan pembedaan hukuman ini tampaknya tidak terlalu sulit untuk kita cerna. Bagi si kaya, apa yang kurang bagi mereka, harta melimpah, kebutuhan tercukupi, semuanya bisa didapatkan, dan akses untuk mengetahui semua peraturan lebih mudah mereka dapatkan. Sedangkan bagi si miskin, setiap hari sudah merupakan penderitaan bagi mereka. Untuk makan mereka susah, pekerjaan jarang, penghasilan jauh dari mencukupi, harga sembako “selangit”, sehingga ketika ditambah lagi dengan hukuman yang lain, bertambahlah penderitaan mereka. Selain itu lebih sering mereka tidak mengetahui peraturan-peraturan yang diterapkan oleh orang-orang pintar yang harus dipatuhi oleh mereka karena tidak ada akses dan penyuluhan dari pemerintah.
F. Serakah Vs Kepepet
Di sisi lain lagi, terlalu banyak alasan orang miskin melakukan pelanggaran yang dikarenakan kondisi. Keterpaksaanlah yang lebih dominan memaksa mereka. Ekonomi menduduki peringkat pertama pada situasi ini, hal ini tercermin dari nenek minah. Tidak ada nafsu untuk mengejar kekayaan yang ada di benak mereka, hanya sekedar mempertahankan hidup. Tetapi lain halnya dengan orang kaya. Pelanggaran yang mereka lakukan dominan dikarenakan ketidakpuasan mereka terhadap apa yang dimiliki. Mereka ibarat pepatah “sudah dapat hati meminta jantung”, “ibarat meminum air laut, semakin diminum semakin haus”, begitulah keserakahan yang ada pada pada diri mereka. Sungguh bertolak belakang dengan alasan orang-orang miskin yang sama-sama melakukan pelanggaran. Maka tidak salah jika kita membedakan hukuman terhadap kedua golongan ini.
G. Kesimpulan
Salah satu solusi ketidak adilan hukum di Indonesia bisa dihilangkan dengan menerapkan klasifikasi hukum terhadap si miskin dan si kaya. Diharapkan dengan diterapkannya pembedaan hukum ini maka ketidak adilan tidak lagi kita dengar, karena dasar teori perbedaan hukum tidak berlaku, dan keadilan bisa benar-benar dirasakan oleh semua masyarakat dan dapat memberikan kepuasan. Namun tentu saja untuk menerapkan solusi ini perlu adanya kelapangan dada di antara kita untuk menyadari dan menerima alasan mengapa klasifikasi semacam ini dipandang perlu untuk dilaksanakan.
NIM : 07304249018
Prodi : Pendidikan Biologi Landak
A. Kasus-Kasus Terkini
Di negeri ini, penegakan hukum masih terlihat “Keras kepada kaum lemah, loyo saat berdapan dengan si kuat.” Bahkan mantan wakil presiden jusuf kalla sendiri mengatakan bahwa dari sisi ekonomi Indonesia sudah membaik, tapi belum dari sisi hukum. Hal ini mengindikasikan
Ada Manisih, Sri Suratmi, Juwono, dan Rusnoto karena diduga mencuri kapuk randu seberat 14 kg milik sebuah perusahaan, sempat ditahan selama 24 hari, lantas dihukum bersalah oleh pengadilan. Parto juga mengalami nasib serupa. Dia mencuri lima batang jagung (setara dengan harga Rp 10.000) untuk tambahan makanan sapinya, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dengan tuduhan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Selain kasus di atas, masih banyak kasus lain yang tidak kalah ironisnya mengenai hukum di Negara ini.
B. Perbedaan Antara Si Kaya Dan Si Miskin
Memang bukan suatu yang mudah pula untuk menyalahkan aparat penegak hukum sebagai biang ketidak adilan di negeri ini. Di masyarakat sendiri kita sudah melihat kenyataan bahwa kita secara sadar atau tidak sadar sudah melakukan pembedaan sendiri terhadap si kaya dan si miskin. Si kaya otomatis kita hormati, omongannya di dengar , dan lain-lain, tidak dibantah, yang mungkin karena takut, atau keterpaksaan,. Sedangkan kepada si miskin kita lebih sering menyombongkan diri, semena-mena, tidak menghargai, karena kita tidak takut dan tidak ada alasan yang membuat kita merasa harus menghormati mereka.
Hal ini terbawa dalam semua aspek kehidupan. Dari kehidupan tingkatan bawah, sampai kehidupan di tingkatan atas, termasuklah dalam dunia “peradilan”. Kaya dan miskin, seolah menjadi salah satu kata kunci dalam pola pikir kita. Kepada si kaya kita segan, kepada si miskin kita garang.
C. Prinsip Cermin Datar
Semua “dasar teori” yang menyebabkan kita membiasakan diri mengklasifikasi tindakan terhadap si kaya dan si miskin memang sulit untuk dihilangkan. Dasar teori itu seakan sudah mendarah daging di dalam diri kita. Namun yang harus kita tinjau sekarang apakah di mata hukum pun klasifikasi-klasifikasi pribadi tersebut masih kita pertahankan? Bukankah symbol peradilan yang digaungkan adalah gambar sebuah neraca sederhana yang timbangannya seimbang? Atau memang ada kesalahan dalam penetapan symbol tersebut yang kini sedang terjadi karena di dalam symbol tersebut neracanya sedang kosong sehingga seimbang, sedangkan jika sudah digunakan untuk menimbang-nimbang hukum neraca tersebut tidak lagi seimbang melainkan berat sebelah??
Hukum sebagai alat untuk mengendalikan dan memberikan balasan sudah seharusnya melihat pada kepolosan sebuah cermin. Cermin, tidak akan pernah bohong. Cermin begitu jujur: ketika yang bercermin orang yang tinggi, maka bayangannya akan tinggi. Ketika yang bercermin padanya orang yang rendah, maka yang terlihat bayangannya rendah. Hitam baju orang yang dipakai, hitam yang dia pantulkan. Putih, putih pula yang ia pantulkan. Hukum seharusnya mengikuti prinsip ini. Harus!!
D. Klasifikasi Hukum: KUHP Khusus Orang Kaya, KUHP Khusus Orang Miskin
Oleh karena itu, penulis mengajukan satu solusi yang menurut penulis bisa membawa prinsip kepolosan cermin dalam hukum, yaitu dengan mengklasifikasi hukum berdasarkan tingkat ekonomi, dalam artian diperlukan revisi hukum dengan memisahkan aturan hukum si kaya dan si miskin, yang mungkin wujudnya bisa dalam bentuk KUHP khusus orang kaya dan KUHP khusus orang miskin, atau masih dalam satu buku tetapi untuk hukuman yang diberikan diberi keterangan hukuman bagi si kaya berupa apa dan berapa, dan jika yang melakukan si miskin hukumannya berupa apa dan berapa. Tentunya lagi, hukuman bagi si miskin harus jauh lebih ringan dibandingkan hukuman bagi si kaya yang melakukan pelanggaran yang sama.
E. Orang Miskin Sudah Menderita Setiap Hari
Alasan pembedaan hukuman ini tampaknya tidak terlalu sulit untuk kita cerna. Bagi si kaya, apa yang kurang bagi mereka, harta melimpah, kebutuhan tercukupi, semuanya bisa didapatkan, dan akses untuk mengetahui semua peraturan lebih mudah mereka dapatkan. Sedangkan bagi si miskin, setiap hari sudah merupakan penderitaan bagi mereka. Untuk makan mereka susah, pekerjaan jarang, penghasilan jauh dari mencukupi, harga sembako “selangit”, sehingga ketika ditambah lagi dengan hukuman yang lain, bertambahlah penderitaan mereka. Selain itu lebih sering mereka tidak mengetahui peraturan-peraturan yang diterapkan oleh orang-orang pintar yang harus dipatuhi oleh mereka karena tidak ada akses dan penyuluhan dari pemerintah.
F. Serakah Vs Kepepet
Di sisi lain lagi, terlalu banyak alasan orang miskin melakukan pelanggaran yang dikarenakan kondisi. Keterpaksaanlah yang lebih dominan memaksa mereka. Ekonomi menduduki peringkat pertama pada situasi ini, hal ini tercermin dari nenek minah. Tidak ada nafsu untuk mengejar kekayaan yang ada di benak mereka, hanya sekedar mempertahankan hidup. Tetapi lain halnya dengan orang kaya. Pelanggaran yang mereka lakukan dominan dikarenakan ketidakpuasan mereka terhadap apa yang dimiliki. Mereka ibarat pepatah “sudah dapat hati meminta jantung”, “ibarat meminum air laut, semakin diminum semakin haus”, begitulah keserakahan yang ada pada pada diri mereka. Sungguh bertolak belakang dengan alasan orang-orang miskin yang sama-sama melakukan pelanggaran. Maka tidak salah jika kita membedakan hukuman terhadap kedua golongan ini.
G. Kesimpulan
Salah satu solusi ketidak adilan hukum di Indonesia bisa dihilangkan dengan menerapkan klasifikasi hukum terhadap si miskin dan si kaya. Diharapkan dengan diterapkannya pembedaan hukum ini maka ketidak adilan tidak lagi kita dengar, karena dasar teori perbedaan hukum tidak berlaku, dan keadilan bisa benar-benar dirasakan oleh semua masyarakat dan dapat memberikan kepuasan. Namun tentu saja untuk menerapkan solusi ini perlu adanya kelapangan dada di antara kita untuk menyadari dan menerima alasan mengapa klasifikasi semacam ini dipandang perlu untuk dilaksanakan.
Upacara Ngantar "Tumpang Negeri"
( transformasi social dan symbol interaksi manusia dengan alam )
Upacara Ngantar Tumpang Negeri merupakan upacara adat suku bangsa Melayu di Kerajaan Landak yang bertempat di daerah Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak. Ngantar Tumpang Negeri adalah salah satu upacara yang biasanya dilakukan pada akhir atau awal tahun, sejak tahun 2001 kegiatan Ngantar Tumpang Negeri yang berdekatan dengan tanggal Pengukuhan Pangeran Ratu yang jatuh setiap tanggal 24 Januari. Sebelum mengantar tumpang, masyarakat melakukan ziarah ke makam ke Raja Abdul Kahar atau Ismahayana, biasa disebut juga Iswara Mahayana. yang merupakan pendiri kerajaan Landak. Makam itu terletak di desa Mungguk. Acara diikuti kerabat kerajaan, pemuka agama dan masyarakat. Ziarah ini bertujuan untuk menghormati sang mendiang raja sebagai pendahulu dan orang yang berjasa besar. Selain itu, ziarah ini juga bisa dimaknai sebagai peringatan bahwa setinggi apapun derajat manusia di dunia, dia akan tetap merasakan mati.
Bahan-bahan yang dipakai untuk melaksanakan upacara adat ini adalah Seperangkat bunga rampai, Seperangkat air cendana, Sejumlah setanggi wangi, Kendaraan angkut perairan, 40 Ekor ayam kampung jantan muda yang dipanggang, 35 ayaman daun kelapa berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, Nasi pulut aneka warna, Nasi pulut rasul, Dupa menyan, Seperangkat kapal-kapalan lengkap, Seekor ayam hidup,
Empat puluh tumpang dilarung ke segala penjuru negeri. Satu diantaranya diberi nama Tumpang Agung. Semua tumpang diantar serentak, menuju pertemuan muara sungai, persimpangan jalan, rumah tua bersejarah, dan ke 10 kecamatan di Kabupaten Landak. Prosesi mengantar tumpang dilakukan antara pukul 15.00-17.00. Khusus untuk Tumpang Agung, dilarung dari muara keraton, menuju hilir sungai Landak.
Setiap tumpang terdiri dari seekor ayam kampung jantan yang telah dipanggang, anyaman daun kelapa muda berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, nasi pulut aneka warna, pulut rasul, setanggi wangi dan dupa menyan.
Transformasi sosial Tumpang Negeri
Upacara Tumpang Negeri dipenuhi berbagai persyaratan dan spiritualitas. Bila syarat tidak dilaksanakan, dipercaya dapat menimbulkan akibat tak diinginkan. Salah satu contoh, ayam yang digunakan untuk upacara, harus ayam kampung. Yang merupakan perlambang dan mempunyai sifat, selalu berusaha mencari makan sepanjang hari. Dan itu dilakukan semenjak subuh hari. Begitupun manusia dalam menjalani hidupnya, harus berusaha mandiri. Tidak perlu menunggu disantuni, atau mengharap bantuan orang lain, bekerja keras mencari rezeki. Pulut rasul merupakan simbol kerekatan sosial. Bahwa dalam masyarakat, harusnya bersatu seperti pulut. Kenyal dan tidak kaku. Tapi, ia terekat dalam satu kerekatan. Bentuk pulut yang setengah lingkaran menunjukkan kebulatan tekad dan pendapat. Kue tradisional, merupakan wujud dari kesejahteraan, karena kue merupakan makanan tingkat sekunder, sedangkan tingkat primernya adalah nasi. Dengan disertakannya jajanan ini maka diartikan bahwa masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan primernya masing-masing dan beranjak kepada pemenuhan kebutuhan sekunder..
Upacara ini sebagai manifestasi dari rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah SWT, dan juga merupakan upaya penghindaran malapetaka/bala, pengusiran penyakit dan ketidak beruntungan, permohonan keselamatan dan pengharapan kehidupan yang lebih baik dan keberuntungan pada tahun yang akan datang.
Maksud yang lain dari upacara itu ialah untuk meminta maaf juga pada arwah leluhur dan kepada mahluk-mahluk halus atas pelanggaran adat tradisi dan atas kelalaian terhadap kewajiban menghormati para arwah leluhur dan mahluk-mahluk halus tersebut. Dari upacara itu diharapkan agar bala kembali dan diganti dengan pertolongan dan perlindungan sehingga dicapai kehidupan yang aman dan sejahtera, bebas dari ketakutan dan kemiskinan. Atas permintaan itu seluruh penduduk menyampaikan persembahan sebagai rasa hormat dan bakti kepada arwah dan mahluk yang ada. Persembahan itu berupa bahan-bahan kenikmatan, santapan-santapan yang disenangi dan perbekalan untuk kehidupan beberapa waktu lamanya yaitu nasipulut aneka warna. Hal ini menandakan bahwa manusia menyadari eksistensinya di dunia tidak sendirian, melainkan juga “berdampingan” dengan makhluk lain yang tidak kasat mata namun secara sadar mereka akui keberadaannya.
Seperti juga suatu zat, ia pun melebur dan luruh dengan alam. Menjadi satu kesatuan dalam interaksi, baik itu dengan sesame manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk lain yang tidak tertangkap indera. Padu. Itulah makna filosofi dari acara Tumpang Negeri.
Kearifan lokal merefleksikan, manusia bukanlah mahluk berkuasa. Ketika terjadi bencana alam, manusia tidak bisa menghindar. Menyadari manusia mahluk lemah, supaya manusia menjadi kuat, ia harus berinteraksi dengan alam. Bekerja sama dengan alam, jauh lebih baik daripada menaklukan alam. Sehingga dengan demikian manusia juga akan lebih berhati-hati bertindak terhadap alam, karena ia menyadari dia memiliki ketergantungan kepada alam/lingkungan sekitarnya dan akhirnya melahirkan suatu anggapan mensakralkan alam untuk dijaga dan dilestarikan.
Alam ada dua. Alam gaib dan nyata. Kearifan lokal masyarakat setempat, manusia harus bisa berinteraksi dengan alam gaib. Melalui upacara Tumpang Negeri, masyarakat seolah ingin memberi tahu, bahwa mereka akan melaksanakan perhelatan besar selama setahun.
Tujuannya, supaya semua diberi kemudahan dalam melakukan sesuatu. Yang bertani mengharapkan kemudahan dalam bercocok tanam. Bagi yang bekerja di sektor usaha, dimudahkan dalam berusaha. Dan berbagai kemudahan dalam menjalankan aspek hidup lainnya. Masyarakat menginginkan ”mereka” yang berada di alam gaib ikut menjaga, ketika manusia menggunakan sungai dan menggunakan jalan, tidak diganggu. Bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan, sungai merupakan urat nadi kehidupan. Jalur perekonomian dan transportasi.
Acara Tumpang Negeri, mempunyai dua dimensi. Pertama, merupakan suatu doa, supaya terhindar dari segala balak, bencana alam dan penyakit. Kedua, permohonan keselamatan dan kesejahteraan supaya tahun mendatang segala kehidupan akan lebih baik dan sejahtera.
Di luar pemaparan di atas, makna lain yang perlu diambil dari acara Tumpang Negeri adalah persatuan dan persaudaraan di antara manusia, karena dengan acara ini semua masyarakat akan berbondong-bondong berkumpul dan mengikuti acara dengan tertib. Berbaur dengan masyarakat lainnya yang datang dari semua kecamatan yang ada. Meskipun mereka tidak saling kenal namun mereka akan merasa tersatukan oleh adanya kesamaan paham terdahap Tumpang Negeri.
Melihat unsure-unsur pendidikan yang termuat di dalam upacara tumpang negeri, maka sudah seharusnyalah acara ini dilestarikan karena bisa menjadi media pembelajaran kepada masyarakat secara luas dan mengandung nilai-nilai tentang kebaikan.
Upacara Ngantar Tumpang Negeri merupakan upacara adat suku bangsa Melayu di Kerajaan Landak yang bertempat di daerah Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak. Ngantar Tumpang Negeri adalah salah satu upacara yang biasanya dilakukan pada akhir atau awal tahun, sejak tahun 2001 kegiatan Ngantar Tumpang Negeri yang berdekatan dengan tanggal Pengukuhan Pangeran Ratu yang jatuh setiap tanggal 24 Januari. Sebelum mengantar tumpang, masyarakat melakukan ziarah ke makam ke Raja Abdul Kahar atau Ismahayana, biasa disebut juga Iswara Mahayana. yang merupakan pendiri kerajaan Landak. Makam itu terletak di desa Mungguk. Acara diikuti kerabat kerajaan, pemuka agama dan masyarakat. Ziarah ini bertujuan untuk menghormati sang mendiang raja sebagai pendahulu dan orang yang berjasa besar. Selain itu, ziarah ini juga bisa dimaknai sebagai peringatan bahwa setinggi apapun derajat manusia di dunia, dia akan tetap merasakan mati.
Bahan-bahan yang dipakai untuk melaksanakan upacara adat ini adalah Seperangkat bunga rampai, Seperangkat air cendana, Sejumlah setanggi wangi, Kendaraan angkut perairan, 40 Ekor ayam kampung jantan muda yang dipanggang, 35 ayaman daun kelapa berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, Nasi pulut aneka warna, Nasi pulut rasul, Dupa menyan, Seperangkat kapal-kapalan lengkap, Seekor ayam hidup,
Empat puluh tumpang dilarung ke segala penjuru negeri. Satu diantaranya diberi nama Tumpang Agung. Semua tumpang diantar serentak, menuju pertemuan muara sungai, persimpangan jalan, rumah tua bersejarah, dan ke 10 kecamatan di Kabupaten Landak. Prosesi mengantar tumpang dilakukan antara pukul 15.00-17.00. Khusus untuk Tumpang Agung, dilarung dari muara keraton, menuju hilir sungai Landak.
Setiap tumpang terdiri dari seekor ayam kampung jantan yang telah dipanggang, anyaman daun kelapa muda berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, nasi pulut aneka warna, pulut rasul, setanggi wangi dan dupa menyan.
Transformasi sosial Tumpang Negeri
Upacara Tumpang Negeri dipenuhi berbagai persyaratan dan spiritualitas. Bila syarat tidak dilaksanakan, dipercaya dapat menimbulkan akibat tak diinginkan. Salah satu contoh, ayam yang digunakan untuk upacara, harus ayam kampung. Yang merupakan perlambang dan mempunyai sifat, selalu berusaha mencari makan sepanjang hari. Dan itu dilakukan semenjak subuh hari. Begitupun manusia dalam menjalani hidupnya, harus berusaha mandiri. Tidak perlu menunggu disantuni, atau mengharap bantuan orang lain, bekerja keras mencari rezeki. Pulut rasul merupakan simbol kerekatan sosial. Bahwa dalam masyarakat, harusnya bersatu seperti pulut. Kenyal dan tidak kaku. Tapi, ia terekat dalam satu kerekatan. Bentuk pulut yang setengah lingkaran menunjukkan kebulatan tekad dan pendapat. Kue tradisional, merupakan wujud dari kesejahteraan, karena kue merupakan makanan tingkat sekunder, sedangkan tingkat primernya adalah nasi. Dengan disertakannya jajanan ini maka diartikan bahwa masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan primernya masing-masing dan beranjak kepada pemenuhan kebutuhan sekunder..
Upacara ini sebagai manifestasi dari rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah SWT, dan juga merupakan upaya penghindaran malapetaka/bala, pengusiran penyakit dan ketidak beruntungan, permohonan keselamatan dan pengharapan kehidupan yang lebih baik dan keberuntungan pada tahun yang akan datang.
Maksud yang lain dari upacara itu ialah untuk meminta maaf juga pada arwah leluhur dan kepada mahluk-mahluk halus atas pelanggaran adat tradisi dan atas kelalaian terhadap kewajiban menghormati para arwah leluhur dan mahluk-mahluk halus tersebut. Dari upacara itu diharapkan agar bala kembali dan diganti dengan pertolongan dan perlindungan sehingga dicapai kehidupan yang aman dan sejahtera, bebas dari ketakutan dan kemiskinan. Atas permintaan itu seluruh penduduk menyampaikan persembahan sebagai rasa hormat dan bakti kepada arwah dan mahluk yang ada. Persembahan itu berupa bahan-bahan kenikmatan, santapan-santapan yang disenangi dan perbekalan untuk kehidupan beberapa waktu lamanya yaitu nasipulut aneka warna. Hal ini menandakan bahwa manusia menyadari eksistensinya di dunia tidak sendirian, melainkan juga “berdampingan” dengan makhluk lain yang tidak kasat mata namun secara sadar mereka akui keberadaannya.
Seperti juga suatu zat, ia pun melebur dan luruh dengan alam. Menjadi satu kesatuan dalam interaksi, baik itu dengan sesame manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk lain yang tidak tertangkap indera. Padu. Itulah makna filosofi dari acara Tumpang Negeri.
Kearifan lokal merefleksikan, manusia bukanlah mahluk berkuasa. Ketika terjadi bencana alam, manusia tidak bisa menghindar. Menyadari manusia mahluk lemah, supaya manusia menjadi kuat, ia harus berinteraksi dengan alam. Bekerja sama dengan alam, jauh lebih baik daripada menaklukan alam. Sehingga dengan demikian manusia juga akan lebih berhati-hati bertindak terhadap alam, karena ia menyadari dia memiliki ketergantungan kepada alam/lingkungan sekitarnya dan akhirnya melahirkan suatu anggapan mensakralkan alam untuk dijaga dan dilestarikan.
Alam ada dua. Alam gaib dan nyata. Kearifan lokal masyarakat setempat, manusia harus bisa berinteraksi dengan alam gaib. Melalui upacara Tumpang Negeri, masyarakat seolah ingin memberi tahu, bahwa mereka akan melaksanakan perhelatan besar selama setahun.
Tujuannya, supaya semua diberi kemudahan dalam melakukan sesuatu. Yang bertani mengharapkan kemudahan dalam bercocok tanam. Bagi yang bekerja di sektor usaha, dimudahkan dalam berusaha. Dan berbagai kemudahan dalam menjalankan aspek hidup lainnya. Masyarakat menginginkan ”mereka” yang berada di alam gaib ikut menjaga, ketika manusia menggunakan sungai dan menggunakan jalan, tidak diganggu. Bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan, sungai merupakan urat nadi kehidupan. Jalur perekonomian dan transportasi.
Acara Tumpang Negeri, mempunyai dua dimensi. Pertama, merupakan suatu doa, supaya terhindar dari segala balak, bencana alam dan penyakit. Kedua, permohonan keselamatan dan kesejahteraan supaya tahun mendatang segala kehidupan akan lebih baik dan sejahtera.
Di luar pemaparan di atas, makna lain yang perlu diambil dari acara Tumpang Negeri adalah persatuan dan persaudaraan di antara manusia, karena dengan acara ini semua masyarakat akan berbondong-bondong berkumpul dan mengikuti acara dengan tertib. Berbaur dengan masyarakat lainnya yang datang dari semua kecamatan yang ada. Meskipun mereka tidak saling kenal namun mereka akan merasa tersatukan oleh adanya kesamaan paham terdahap Tumpang Negeri.
Melihat unsure-unsur pendidikan yang termuat di dalam upacara tumpang negeri, maka sudah seharusnyalah acara ini dilestarikan karena bisa menjadi media pembelajaran kepada masyarakat secara luas dan mengandung nilai-nilai tentang kebaikan.
Langganan:
Postingan (Atom)